32. Cinta Tak Harus Dibuktikan dengan Sex

127 11 0
                                    

Zahra melangkah dengan gontai menuju ke apartemennya. Matanya masih terasa berat karena hampir semalaman dia terjaga di rumah sakit.

Sudah dua hari ini dia memang memutuskan menemani calon mertuanya di sana. Mengobrol banyak hal tentang masa kecil Davie. Juga melihat beberapa album foto keluarga Davie yang Yudanta miliki.

Begitu membuka pintu, Zahra dikagetkan dengan sosok Davie yang ternyata sudah duduk di sofa ruang tengah apartemennya. Lelakinya memang memiliki akses masuk ke tempat itu semenjak mereka resmi melangkah ke jenjang yang lebih serius.

"Da-Davie, kenapa kamu bis-"

"Dari mana saja kamu?" Davie memotong kata-kata Zahra dengan nada suara dingin. Mata tajamnya terarah lurus pada calon istrinya. Seolah mengintimidasi Zahra hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik.

Zahra tak menyangka kalau Davie ternyata pulang hari ini. Sebab kemarin dia hanya mengatakan akan ada di luar kota selama beberapa hari.

Bulu kuduk Zahra meremang. Sudah lama sekali dia tak mendengar suara Davie yang sedingin itu. Zahra gugup, dan memandang Davie was-was. Terlebih ketika sosok tubuh tegap itu berjalan dengan langkah pelan ke arahnya. Mengarahkan tatapan tajam dengan rahang mengeras. Zahra tahu sekali Davie tengah menahan emosinya yang siap meledak.

Terdengar decapan kesal dari bibir Davie, setelah dia menatap Zahra cukup lama dari jarak dekat. Davie selalu tak tega untuk marah-marah jika melihat mata sendu wanitanya yang terlihat rapuh. Emosinya menguap seketika.

"A-aku minta maaf ka-"

Diluar dugaan, Davie bukannya memarahi Zahra karena telah melanggar peraturannya, laki-laki tampan itu justru menarik Zahra dalam pelukan.

"Aku khawatir sekali kamu kenapa-napa," ujar Davie setelah itu. Dia mengecup kening Zahra cukup lama. Kemudian mengeratkan pelukannya.

Zahra yang masih syok dengan jantung berdegup kencang, hanya mengangguk dalam dekapan sang kekasih. Lalu beberapa saat setelah merasa rileks, barulah dia membalas pelukan Davie tak kalah erat.

"Dua hari tak menghirup wangi tubuhmu rasanya rindu sekali," ujar Davi menenggelamkan kepalanya pada leher Zahra. Menghirup dalam-dalam wangi khas wanitanya.

Zahra tak membalas ucapan itu. Dia hanya semakin mengeratkan pelukan. Jantungnya masih terasa berpacu, memikirkan kalau Davie memang marah karena mengetahui pertemuannya dengan Yudanta.

"Dave, aku belum mandi. Pasti baunya nggak sedap," ujar Zahra sembari mendorong dada bidang Davie agar menjauh.

Davie mau tak mau menatap Zahra. Tanpa melepaskan tangannya yang masih melingkari pinggang sang calon istri. Lama sekali Davie menatap manik hitam Zahra.
Hingga beberapa saat berlalu dia menangkupkan tangan pada pipi Zahra, dan menempelkan bibirnya pada bibir sang pujaan hati.

Awalnya Davie hanya menempelkan bibir mereka. Namun, rasa rindu yang ditahannya selama dua hari ini seakan ingin dia tumpahkan pada ciuman itu. Meski Davie kesal karena mengetahui Zahra menemui ayahnya diam-diam, dia tetap berusaha tenang alih-alih memarahi Zahra. Davie tak ingin membuat wanitanya menangis lagi. Dia belajar mengontrol emosi agar tak melukai Zahra seperti dulu. Sudah cukup selama ini dia membuat Zahra selalu menangis. Lagi pula, penting sekali menahan ego demi hubungan sehat. Davie ingin mendengar kejujuran Zahra tanpa harus dia bertanya lebih dulu.

Dave menarik pinggang Zahra agar lebih mendekat. Perlahan dia mulai melumat bibir wanita itu dengan gerakan-gerakan lembut, dan menekan tengkuk sang kekasih agar memperdalam ciuman mereka.

Zahra yang juga merasakan kerinduan teramat sangat akhirnya membalas ciuman mesra itu. Dia mengalungkan tangannya pada leher Davie dan sesekali menelusupkan jari-jari tangan pada rambut kekasihnya dengan gemas.

First Love (CLBK) Repost (Complet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang