TIGA

1.7K 216 229
                                    

Setelah lelah belajar, bel istirahat seolah menjadi penyejuk bagi para murid SMA Gemilang. Tidak terkecuali bagi kelas XI-MIA 2. Setelah guru mereka keluar kelas, para murid langsung berebut untuk keluar kelas. Tujuan mereka sama. Kantin.

Uta yang tertidur selama jam pelajaran Kimia barusan, terbangun karena suara berisik. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Qian yang sedang membagi-bagikan cokelat seperti biasa.

Setelah selesai, Qian duduk kembali di bangkunya dan menyerahkan empat batang cokelat untuk Uta. "Nih, bagian lo."

Uta menguap, lalu menatap empat cokelat bermerk Silverking di atas mejanya. "Banyak amat. Hari ini dapet banyak banget, Qi?"

Qian menggeleng, "Nggak sih. Cuma ...." Qian menoleh menatap meja di sebelahnya. Jo sedang asyik membaca buku di mejanya. "Jo ada di sana. Jadi gue males ngasihnya," bisik Qian. Takut Jo bisa mendengar omongannya.

Uta mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh, pantes. Tapi, kenapa lo sendiri nggak pernah bawa pulang cokelat yang lo dapet sih, Qi?"

Qian mengembuskan napas. "Lo tahu kan, gue orangnya parnoan. Kali aja tu cokelat dikasih guna-guna."

Uta tertawa. "Elah, hari gini emang guna-guna masih jaman? Lagian, lo kan nerima semua cowok yang dateng ke elo. Jadi kenapa mesti takut coba?"

"Beda, Uta. Cowok yang dateng langsung nembak itu beda sama cowok cupu yang cuma berani ngasih hadiah dengan cara kayak gini. Gue kan sukanya cowok gentle. Gagah berani mengakui perasaannya," bela Qian.

Uta mendecak, percuma debat hal tidak penting seperti ini dengan Qian. Uta berdiri, siap pergi dari bangkunya. "Mau ke kantin, Ta?" tanya Qian.

Uta menggeleng, "Gue mau kasih ke Jo. Ya kali gue makan cokelat terus tiap hari. Selain bikin gemuk, lama-lama gigi gue bisa rontok makan cokelat terus." Uta lalu melenggang menuju meja Jo. Sedangkan, Qian hanya memerhatikan.

"Jo, ni buat lo." Uta meletakan dua batang cokelat di atas meja Jo.

Jo mengangkat kepalanya, menatap Uta dengan kening berkerut. "Lagi?"

Uta mengangkat bahu, lalu melirik ke arah Qian. Jo mengikuti arah pandangan Uta. Qian lalu buru-buru membuang mukanya.

Jo tersenyum tipis, "Oh. Thanks."

Uta tersenyum lalu kembali menuju mejanya, ia berdiri di hadapan Qian. "Lo nggak ke kantin, Qi?" tanya Uta.

Qian segera berdiri, "Kantinlah. Gerah gue di kelas. Lo ikut?" Uta mengangguk. Qian segera berdiri dan menggamit lengan Uta berjalan keluar kelas menuju kantin.

"Qi, lo nggak bosen apa benci si Jo?" tanya Uta tiba-tiba.

Qian memutar bola matanya. "Gue nggak benci Jo. Gue cuma nggak suka aja sama dia. Nih ya, dia tuh culun, kutu buku, lebih pinter dari gue, dan cuek banget. Seorang Qiandra, yang duduk di deketnya aja selalu dicuekin." 

"Lo iri ya sama Jo?"

"Aduh, Ta. Bukan iri, gue cuma nggak suka. Dia tuh sombong banget."

Uta tertawa, entah mengapa membahas Jo dengan Qian selalu menarik baginya. Benar memang yang dikatakan Qian. Jo cuek, selalu asyik dengan dunianya. Tapi, pinternya nggak ketulungan. Bahkan nggak bisa digapai oleh salah satu orang terpintar di SMA Gemilang, Qian.

"Tapi, Jo lumayan ganteng juga ya kalau dilihat-lihat. Apalagi sejak dia berhenti pakai kacamata tebelnya itu." Uta menyenggol pundak Qian, "Eh, gue jadi kepikiran nih. Lo kan paling nggak bisa nolak orang ya. Kalau misalnya Jo tiba-tiba nembak lo gimana?" Uta menaikan satu alisnya beberapa kali.

Qian mendengus, "Nggak bosen ya lo ngomongin Jo."

"Jawab dululah, Qi," paksa uta.

"Nggak mungkinlah dia nembak gue. Kecuali, gue berubah dulu jadi buku, baru gue percaya dia bakal nembak gue."

Uta hanya tertawa mendengar jawaban Qian.

Sesampainya di kantin, Qian segera mendorong Uta duduk di salah satu meja kosong. Sedangkan dirinya sendiri lalu bergegas menuju salah satu stand makanan di kantin untuk memesan makanan.

Qian segera menuju meja di mana Uta sedang duduk dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

Dari kejauhan, Vano terlihat berlari-lari kecilnke arah Qian dengan membawa segelas es jeruk. Vano duduk di sebelah Qian, "Hai, Qiandra."

Qian menoleh, tersenyum lalu kembali sibuk dengan makanannya. Vano menyeruput es jeruknya, lalu menatap Qian tak berkedip.

Merasa diperhatikan, Qian menoleh ke arah Vano. Dan melihat salah satu kandidat calon ketua osis itu sedang menatapnya. "Lo apaan sih, Van. Liatin gue kayak gitu. Risih tahu."

Vano nyengir. "Loh, kok masih lo-gue sih, Qi. Kita kan udah jadian."

Qian menggaruk pelipisnya, hampir saja ia lupa Vano itu pacarnya. Ia tidak menjawab dan kembali memakan makanannya.

"Weekend jalan yuk, Qi," ajak Vano.

Qian mengangguk, "Boleh."

"Ajak guelah, Van. Itung-itung pajak jadian," sahut Uta yang dari tadi hanya memerhatikan Vano dan Qian.

"Nggak bisa dong. Gue kan mau kencan. Emang lo mau jadi obat nyamuk?" Vano tertawa.

Uta mencibir. "Udah biasa kali gue jadi obat nyamuk. Lo kira sekarang ini gue apa?"

Vano tertawa lagi, lebih keras. "Iya juga sih ya."

Qian menutup telinga kanannya, "Berisik, Van. Suara ketawa kamu kok kayak pake toa masjid gitu sih. Nggak lihat nih, ada kuping yang tersakiti."

Vano segera menghentikan tawanya. "Eh, maaf, maaf. Kelolosan, Qi." Vano menyeruput es jeruknya lagi. "Kapan-kapan gue traktir deh, Ta. Tapi besok, biarkanlah gue menikmati kencan berdua dengan pujaan hati."

Uta memutar bola matanya, "Gue tagih ya besok-besok."

Vano mengangkat jempol tangan kanannya. "Siap."

👣👣👣

Kali ini aku coba pake multimedia, kebetulan nemu gambar yang cantiks dan aku suka ❤
Lain kali aku coba pake musik deh, jadi soundtrack pas bacanya 😁
By the way, ada yg pernah jadi obat nyamuk kayak Uta? Sabar yah, sesama jomblo aku pun tahu rasanya. Apadah!

Makasih buat yang sudah meluangkan waktu buat baca. Jangan lupa tinggalkan jejak. Vomment dari kalian sangat berarti buatku.
Thanks.

28 Desember 2017

Sari Nirmala


Republish 8 Januari 2020.

KARMA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang