DUA PULUH TUJUH

747 58 54
                                    

Qian masih duduk di kursinya meski bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Begitu pula dengan Jo.  Kelas juga sudah mulai sepi. Sehingga yang tersisa tinggal mereka berdua.

Qian sempat beberapa kali melirik ke arah Jo yang masih sibuk mencatat. Sejak kejadian jam istirahat tadi, Jo sama sekali tidak menyapa Qian. Qian menghela napas panjang lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja Jo.

"Jo.," ucap Qian setelah ia berada di dekat Jo.

"Hm?" jawab Jo yang masih sibuk mencatat.

"Lo marah?" tanya Qian.

Jo berhenti mencatat, kemudian menatap Qian yang sedang menundukan kepalanya. "Marah? Kenapa harus marah?"

Takut-takut Qian menatap Jo. "Gara-gara tadi gue ngomong gitu. Maaf ya, gue nggak maksud buat ...."

Tiba-tiba Jo tertawa, "Apaan sih lo. Nggak marah kok gue." Qian tidak menjawab, ia menatap Jo dengan mulut sedikit terbuka. Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Lo jadi mau ditemenin ke rumah Uta? Bentar ya. Gue beresin dulu ni catetan gue." Jo kemudian kembali sibuk dengan catatannya.

Qian tidak menjawab, namun akhirnya tersenyum karena lega Jo tidak marah.

"Eh, tapi sebelum ke rumah Uta, anterin gue bentar ke makam Mama ya. Hari ini hari berkunjung. Sayang, Papa lagi-lagi harus dinas ke luar kota. Jadi nggak bisa ikut."

Senyum Qian melebar, lalu mengacungkan kedua ibu jarinya. "Oke."

👣👣👣

Matahari hampir terbenam setelah Qian dan Jo kembali dari makam Mama Jo.

"Sori ya, Qi. Kelamaan di makam Mama, ke rumah Uta jadi hampir malem gini." ucap Jo di sela kegiatan menyetirnya.

"Nggak apa-apa. Santai aja kali."

Tepat setelah Qian menyelesaikan kalimatnya, ponsel Qian berdering. Dengan cepat Qian mengangkat telepon tersebut.

"Halo," sapa Qian.

"Halo, Mbak Qian." 

"Bu Leha, aku kan udah bilang hari ini bakal pulang telat." Qian seolah tahu mengapa Bu Soleha menelponnya saat ini. Pasti karena khawatir Qian belum juga pulang saat mulai malam.

"Bu-bukan, Mbak. Bukan itu," jawab Bu Leha di seberang sana.

Qian mengerutkan dahinya, "Terus kenapa, Bu?" tanya Qian.

Bu Soleha terdiam, kemudain beberapa detik berikutnya terdengar suara tangis yang tertahan.

"Mbak, maaf ya, Mbak ..." ucap Bu Leha dengan suara bergetar.

"Maaf kenapa, Bu? Jangan bikin deg-degan gini deh."

"Mbak pulang ya, Mbak. Nyonya sama Tuan, mereka ..." Bu Soleha terdiam lagi.

Qian menghela napas, sebenarnya ia tidak peduli dengan apa pun itu tentang orang tuanya. "Mama Papa kenapa, Bu?" tanya Qian akhirnya.

"Tuan sama Nyonya ... Mereka mau ngerayain ulang tahun Mbak Qian yang ke tujuh belas bareng-bareng, Mbak ...."

"Mama bilang gitu? Dan Bu Leha percaya? Udahlah, Bu. Jangan sedih cuma karena mereka nggak jadi dateng. Aku aja yang berkali-kali dikecewakan nggak pernah sampai nangis gitu kok."

"Bukan, Mbak. Tuan sama Nyonya kali ini nggak bohong. Mereka benar-benar mau dateng," lanjut Bu Soleha.

"Terus, Bu Leha terharu karena akhirnya mereka pulang?" tanya Qian masih bingung dengan arah percakapan Bu Leha.

KARMA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang