EMPAT BELAS

919 109 138
                                    

Hai, di part ini aku sisipkan backsound. Silahkan play video di atas ☝
Selamat membaca 😊
______________________________________

Puluhan kilometer dari Qian dan Ray yang sedang sibuk dengan kebersamaannya, seorang cowok duduk di sebuah kafe. Ia baru saja menghabiskan jus melon yang ketiga saat ini.

Jo.

Sudah pukul setengah sembilan malam, namun Qian belum juga muncul. Jo yakin tadi ia sudah mengatakan jam tujuh kepada Qian. Tapi sudah satu setengah jam menunggu, Qian tak kunjung datang. Ke mana cewek itu?

Berkali-kali Jo membuka dan menutup aplikasi WhysApp di ponselnya. Berkali-kali juga Jo membuka chatroom antara dirinya dengan username Qiandra di aplikasi tersebut. Di dalamnya, ada chat yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ia hapus. Chat yang sengaja ia simpan jika perasaan sesak karena rindu datang.

Jauh dalam hatinya, Jo ingin sekali menghubungi atau sekedar mengirim chat –lagi—pada Qian. Untuk bertanya apakah cewek itu baik-baik saja. Apakah cewek itu ada urusan lain sehingga tidak bisa datang.

Namun keraguan selalu datang sebelum Jo sempat melakukan apa pun. Ia tahu, Qian pasti tidak menyimpan kontaknya. Qian juga pasti tidak akan mengira bahwa Jo ternyata menyimpan kontak Qian. Hal tersebut akan membuat Qian semakin bertanya-tanya. Tapi ... semuanya juga akan segera Jo ceritakan ke cewek itu. Jadi apa yang sebenarnya membuat ia ragu?

Jo menghela napas, bersamaan dengan seorang pelayan yang datang membawakan jus melon keempatnya.

"Mbak, kafenya tutup jam berapa?" tanya Jo kepada pelayan itu.

"Jam sepuluh, Kak."

Jo tersenyum tipis, "Makasih, Mbak."

Pelayan itu tersenyum dan mengangguk kemudian berlalu dari hadapan Jo. Jo meraih jus melonnya. Menenggak isinya hingga tersisa setengah gelas. Masih ada beberapa jam lagi sebelum kafe itu tutup. Jo memutuskan menunggu cewek itu. Jika Qian tidak datang juga, maka Jo harus memastikan cewek itu baik-baik saja.

👣👣👣

Mata Qian menyipit, memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidak salah. Ada seseorang di depan rumahnya, bersandar di motor dengan tangan terlipat di depan dada. Karena orang itu sedang menghadap ke arah lain, dan penerangan yang tidak cukup memadai, Qian sulit menebak siapa orang itu. Pak Kusno memperlambat laju mobil, lalu berhenti di depan gerbang.

"Itu siapa ya, Pak?" tanya Qian.

"Nggak tahu, Mbak." Pak Kusno sama bingungnya.

"Pak Kusno masuk duluan ya. Ini martabaknya tolong dibawa masuk juga. Makan bareng Bu Leha ya, Pak." Qian lalu membuka sabuk pengamannya dan turun dari mobil setelah Pak Kusno mengiyakan.

Pak Kusno melakukan hal yang sama, tapi ia turun untuk membuka gerbang, segera kembali ke dalam mobil dan memasukan mobil ke dalam garasi.

Qian mengerutkan dahinya, berjalan menuju ke tempat orang yang kini sudah tidak bersandar lagi pada motornya. Ia menatap Qian tajam seiring semakin menipisnya jarak di antara mereka. Qian seketika melebarkan matanya saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya saat ini.

"Jo?"

"Akhirnya pulang juga. Dari mana aja lo?" tanya Jo.

Qian tidak menjawab pertanyaan Jo. Harusnya dia yang bertanya, kenapa Jo ada di sini? Di depan rumahnya malam-malam begini.

"Emang harus banget lo tahu gue dari mana? Lagian, ngapain lo di sini malem-malem?"

Jo mengangkat satu sudut bibirnya. "Lo lupa ya tadi kita janjian di kafe? Gue tungguin lo tiga jam di sana. Tapi lo nggak dateng-dateng."

Qian menganga, lalu menepuk pelan dahinya. Bagaimana dia bisa lupa janjinya dengan cowok itu? Qian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul setengah sebelas malam.

Perasaan bersalah menyelimuti hati Qian. Jo sudah menunggu berjam-jam sedangkan dia malah asyik ngobrol dengan Ray.

"So-sori, Jo. Gue ...."

Belum selesai Qian berbicara, Jo menyela, "Seenggaknya lo kabarin gue kalau emang nggak bisa dateng. Biar gue nggak perlu khawatir."

Sedetik setelah berkata begitu, Jo lalu tertawa hambar. Ia mengibaskan satu tangannya di depan dada. "Lupa gue, lo pasti nggak simpen kontak gue ya. Gimana juga bisa ngabarin."

Jo mengambil helm yang ia taruh di spion motor. Sebelum memakai helmnya, Jo menoleh menatap Qian. "Atau, sebaiknya lo jujur aja kalo emang nggak mau ketemu gue, Qi. Gue nggak akan maksa." Jo segera memalingkan wajah setelah menyelesaikan kalimatnya.

Dengan cepat Qian memegang lengan Jo. Menahan gerakannya sehingga membuat cowok itu tidak jadi memakai helmnya. Ia menatap Qian bingung.

"Lo ... khawatir?" tanya Qian.

Jo membuang pandangannya ke sembarang arah, lalu segera melepas tangan Qian dari lengannya. "Gue mau pulang, Qi. Udah malem."

"Kenapa?" tanya Qian. Seolah ia tidak mendengar ucapan Jo barusan. "Kenapa lo khawatir? Bukannya selama ini lo selalu cuek sama gue?" tanya Qian lagi.

Jo mengembuskan napas panjang, ia kembali meletakan helmnya di tempat semula. Kemudian menatap Qian lama sebelum akhirnya melepas jaket yang ia kenakan. Lalu menyampirkan jaketnya di pundak Qian.

Entah mengapa Jo sulit sekali bersikap cuek di luar lingkungan sekolah. Apa lagi menatap Qian seperti ini, rasanya tidak sanggup membuat cewek itu makin bingung. Jo merasa dadanya sesak, kenangan masa lalu tiba-tiba terlintas di ingatannya.

"Udah malem, di luar dingin. Kalau lo pake baju pendek gitu nanti bisa masuk angin. Lo masuk ya, terus istirahat." Jo tersenyum.

Qian mematung, baru kali ini ia melihat Jo tersenyum. Atau lebih tepatnya, baru kali ini ia melihat Jo tersenyum padanya.

"Gue khawatir sama lo karena gue peduli. Nggak peduli seberapa benci lo sama gue, gue nggak pernah benci lo. Sori kalau selama ini udah buat lo salah paham. Sori karena gue udah buat lo bingung. Tapi mungkin lo belum siap denger penjelasan dari gue. Gue ngerti." Jo merapatkan jaketnya yang kini sedang menyelimuti tubuh Qian. "Gue balik ya, Qi."

Dalam beberapa detik, Jo sudah melesat dengan motornya. Meninggalkan Qian yang masih mematung di tempat. Sampai Qian sadar, bahwa selama Jo bicara tadi, ia sempat kehabisan oksigen. Sehingga tidak bisa menjawab apa pun yang dikatakan Jo.

Ada apa dengan cowok itu? Kenapa tiba-tiba dia jadi baik? Qian merapatkan jaket milik Jo yang sedang membalut tubuhnya. Membuat Qian merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Juga sekelebat ingatan di dalam kepalanya.

Qian memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Akhir-akhir ini kepalanya sering terasa sakit. Terutama saat berkomunikasi langsung dengan Jo. Qian menghela napas panjang. Jangan-jangan Qian belum siap diperlakukan baik oleh seseorang yang selama ini terkesan cuek dan tidak peduli kepadanya. Sehingga setiap cowok itu bersikap baik pada Qian, otaknya akan merespon dengan rasa sakit.

Qian mendesah, bisa gitu nggak sih? tanyanya entah pada siapa.

👣👣👣


Gimana? Udah baper belum? 😂
Maaf ya, kali ini partnya agak pendek. Soalnya adegan Jo sama Qian ini sengaja aku bikin spesial pake banget. Jadi khusus part ini, yang muncul cuma mereka berdua. Dibubuhi backsound yang bikin tingkat kebaperan meningkat. Eeaaa 😂

Boleh kasih kritik dan saran ya. Spam komen juga boleh. Typo yang bertebaran juga tolong ditegur ya 😀

Makasih untuk siapapun yg sudah baca. Terutama beberapa pembaca setia yang sangat berbaik hati membaca, vote dan komen setiap KARMA update. Aku cintah kalian ❤❤❤

As usual, jangan lupa klik tanda ⭐ di pojok kiri bawah yaa.

See ya next part 😊

31 Januari 2018

Sari Nirmala


Republish 20 Januari 2020.

KARMA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang