DUA PULUH DELAPAN

765 61 31
                                    

Silahkan play video di atas sebelum membaca
SANGAT DISARANKAN MEMBACA SAMBIL MENDENGARKAN BACKSOUND YAA
Happy reading! ^^
______________________________________

Di tempat lain, terlihat Qian sedang bersusah payah menata hatinya yang hancur berantakan. Hati yang sudah tidak lagi berbentuk hati. Hati yang hancur karena satu pukulan telak bernama pengkhianatan.

Kakinya terus melangkah tak tentu arah. Tanpa tujuan, ia terus berjalan. Sambil sesekali mengusap air matanya yang terus jatuh. Tangan kirinya menekan bagian dada. Berharap dengan begitu, rasa sakit yang sedang ia rasakan bisa berkurang.

Isak tangisnya membuat beberapa orang yang berlalu-lalang, melihatnya dengan tatapan iba, sedih, juga bertanya-tanya. Tapi ia tidak peduli, ia terus menyeret kakinya, berjalan tidak tahu ke mana.

Setibanya di sebuah taman, ia lalu berhenti dan duduk di salah satu kursi taman yang terbuat dari kayu. Tangisannya tak kunjung reda, setelah duduk ia malah semakin menangis. Ia tahu ia salah, ia sudah menyakiti banyak orang. Tapi, apakah ini balasan yang setimpal? Hatinya sakit. Benar-benar sakit.

Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa ia harus kehilangan dua orang yang selama ini baik padanya? Dua orang yang ia sayangi? Kenapa? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Tidak akan ada yang tahu jawabannya.

Malam itu, pertama kali seumur hidupnya, ia benar-benar menyesal sudah dilahirkan ke dunia. Sahabatnya, yang selama ini bahkan sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri mengkhianati dengan cara yang keji.

Bagaiman bisa Uta menyiapkan rencana sematang itu? Mengapa Uta sangat membencinya hanya karena iri? Bahkan sampai dendam dan menyiapkan balasan sesakit ini? Bagaimana bisa Uta berpura-pura baik di hadapannya selama ini?

Ah, Qian hampir saja lupa dengan kabar buruk lainnya. Orang tuanya. Apakah pesawatnya sudah ditemukan? Bagaimana keadaan orang tuanya saat ini? Apa mereka bisa selamat dari kecelakaan itu?

Qian menghela napas panjang. Bersusah payah ia menahan air matanya agar berhenti mengalir. Kepalanya terasa sakit. Mengapa ada begitu banyak pertanyaan tetapi sama sekali tidak ada jawabannya?

"Nggak usah dipikirin." Sebuah suara yang tiba-tiba muncul di sampingnya itu membuat Qian segera menoleh. Jo. Sejak kapan Jo duduk di sana?

Jo ikut menatap Qian, ia lalu tersenyum. Senyum canggung yang terlihat sekali sangat dipaksakan.

"Gue nggak bisa hibur lo supaya lo nggak sedih lagi. Gue nggak tahu harus melakukan apa. Tapi, lo masih punya gue. Gue kan sahabat lo juga. Gue ikut sakit ngeliat lo kayak gini."

Qian terdiam, lalu setetes air matanya jatuh lagi. Ia menundukan kepala dengan dua tangan menutup wajahnya. Bahunya bergetar karena tangisannya semakin kencang.

Jo menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Qian. Lalu perlahan ia membawa kepala Qian agar bersandar di bahunya, dan mengusap lembut pundak dan kepala gadis itu agar bisa lebih tenang.

👣👣👣

Sudah satu minggu sejak kejadian Ray dan Uta, juga kecelakaan pesawat orang tua Qian. Dan sudah satu minggu juga Qian tidak masuk sekolah.

Setiap pulang sekolah, Jo selalu berkunjung ke rumah Qian. Qian terlihar baik-baik saja. Ia selalu menyambut Jo dengan baik, dengan senyum di wajahnya. Walaupun Jo tahu, senyum itu senyum palsu.

Setiap hari mereka juga rutin datang ke bandara. Mencari kabar terbaru tentang pesawat yang hilang. Namun, tidak ada kabar baik. Setiap hari, pihak maskapai selalu minta maaf kepada seluruh keluarga penumpang karena tidak ada kemajuan apa pun dari pencarian yang telah dilakukan.

KARMA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang