Qian sedang berbaring di atas tempat tidur saat jam dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam. Satu tangannya yang sedang memegang kompres, sibuk berpindah-pindah dari mata kanan ke mata kiri. Setelah sejak sore hingga malam kerjaannya hanya menangis, akhirnya kedua mata Qian harus bengkak.
Qian mendudukan dirinya di atas tempat tidur kemudian bersandar. Sudah hampir tengah malam dan ia sama sekali tidak bisa tidur. Setelah akhirnya Qian mengingat semuanya, rasa-rasanya semua yang sudah ia lakukan selama satu setengah tahun ini sia-sia.
Menyaingi Jo dengan membencinya, menerima semua cowok yang datang padanya, kemudian sekarang, menerima Ray sebagai pacarnya. Qian menghela napas, memang benar ia menyukai Ray. Tapi, itu sebelum ia mengingat semuanya. Dan sekarang, setelah ingatannya kembali, hati Qian seolah memberontak. Bukan Ray yang ia sukai, tapi Jo. Bahkan ia sudah menyukai cowok itu sejak lama.
Cowok yang selalu memberi perhatian lebih pada Qian. Cowok yang selalu berhasil membuat jantung Qian berdebar lebih cepat setiap Jo menggenggam tangannya. Cowok yang berhasil membuat hari-harinya lebih berwarna.
Ah, betapa jahat dirinya melupakan cowok itu, Papa dan juga ... Almarhumah Mama Jo.
Qian menghela napas panjang, ia bangkit dari posisinya lalu berjalan menuju meja belajar yang di atasnya tergeletak jaket milik Jo. Jaket yang Jo pinjamkan padanya beberapa hari lalu. Jaket yang sama, yang juga sempat dipinjamkan cowok itu beberapa tahun lalu.
Qian meraih jaket tersebut, ia menghirup dalam aroma yang melekat pada jaket itu. Aroma Jo yang tidak pernah berubah. Aroma yang selalu membuat Qian merasa nyaman. Kemudian ia mendekap erat jaket milik Jo, merasakan kerinduan yang sudah lama terkubur oleh reruntuhan ingatannya yang hilang.
Drrrtt... Drrrtt...
Getaran ponsel Qian membuatnya terkejut. Ponsel yang sejak tadi tidak pernah ia sentuh. Qian meraih ponselnya, lalu menghela napas melihat ada lebih dari seratus notif dari nama yang sama. Ray.
Drrrtt... Drrrtt...
Ponsel Qian kembali bergetar, kali ini karena ada telepon masuk dari seseorang yang baru saja resmi menjadi pacarnya. Qian menatap lama layar ponselnya sebelum menjawab telepon tersebut.
"Ha ..." Belum sempat Qian menyelesaikan kalimatnya, Ray segera menyela.
"Qian, astaga. Dari tadi aku telepon kok nggak diangkat? Chat aku juga nggak dibales? Kamu ke mana aja?"
Qian tersenyum tipis, "Maaf, Ray. Tadi aku ...," Qian terdiam. Haruskah ia menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya?
"Kamu kenapa, Qi?" tanya Ray.
"Aku ... aku tadi ketiduran. Nggak ngecek HP sama sekali," jawab Qian akhirnya.
"Ketiduran?" tanya Ray tidak yakin.
Qian menganggukan kepalanya, lalu sadar bahwa Ray pasti tidak bisa melihat anggukan kepalanya. "Iya."
Ray mengembuskan napas, "Aku kira kamu kenapa. Hilang tanpa kabar dari pulang sekolah sampai malem gini."
"Sori, Ray."
"Udah, nggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja."
Qian tersenyum, sangat bertentangan dengan isi hatinya yang merasa bersalah karena menerima Ray menjadi pacarnya. Ray terlalu baik untuk disakiti. Tapi, biar bagaimanapun Qian harus jujur. Ia harus segera memutuskan hubungannya dengan Ray sebelum cowok itu semakin larut dengan hubungan ini.
"Uhm ... Ray."
"Iya, Qi?"
"Aku perlu bicara sama kamu. Besok, setelah dari perpustakaan. Bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA [Completed]
Teen Fiction[Cerita sudah selesai dan masih lengkap] Qiandra memiliki semua yang dia mau. Kaya, cantik, pintar, populer. Cewek itu tergila-gila dengan belajar dan berambisi selalu menjadi yang pertama. Prinsip hidupnya satu, memiliki banyak prestasi. Prestasi...