DUA PULUH

983 72 76
                                    

Qian mengerjapkan matanya beberapa kali dalam gerakan lambat. Rasanya sudah lama sekali ia terpejam. Matanya terasa perih, tenggorokannya juga kering. Hal yang pertama ia lihat adalah langit-langit berwarna putih. Oke, berarti ini bukan kamarnya. Dan hal yang pertama ia dengar adalah suara seorang cowok yang memanggil namanya.

Perlahan Qian mencoba menggerakan kepalanya, mencari tahu pemilik suara. Di sebelahnya sudah berdiri seorang cowok yang sudah tidak asing bagi Qian. Cowok itu tersenyum lebar, di wajahnya tergurat ekspresi lega.

"Qian, akhirnya lo sadar juga."

"Jo ... a-air," pinta Qian.

"Ah, sebentar." Dengan sigap Jo segera mengambilkan segelas air, membantu Qian duduk bersandar dan minum.

"Makasih," ucap Qian lirih.

Jo menggangguk, "By the way, jangan kaget ya kenapa gue di sini. Tadi lo tiba-tiba pingsan di sekolah. Jadi gue bawa ke rumah sakit." Jo menghela napas, "Sumpah lo bikin khawatir tahu, Qi."

Qian tersenyum tipis, sangat tipis sampai hampir tak terlihat. "Gue ... pingsan lagi?"

Jo mengangguk lagi, "Lo pingsan setelah gue bilang ... tentang ... tentang orang tua gue." Suara Jo memelan. "Eh, tapi sekarang, jangan dipikirin dulu ya, Qi. Yang penting lo sembuh dulu. Kata dokter, lo pingsan karena trauma di kepala lo. Karena ...," Jo menelan salivanya, terbersit keraguan untuk melanjutkan kalimatnya. "Karena ... ingatan lo," ucap Jo akhirnya.

Qian bergeming, ia masih menatap Jo yang juga sedang menatapnya. Ada banyak hal yang ingin ia ucapkan. Tapi, bibirnya seperti terkunci. Akhirnya, ia tidak bisa mengatakan apa pun.

Jo mengerjap, menatap lama Qian seperti ini membuat jantungnya jadi lari marathon. Sungguh, ingin rasanya melambai ke kamera, Jo tidak kuat.

Jo membuang pandangannya ke sembarang arah, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Eem, kayaknya gue harus panggil dokter, Qi. Lo tunggu bentar ya."

Jo segera berbalik, satu kakinya sudah siap melangkah saat ia merasa ada yang menarik ujung bajunya. Jo berhenti, lalu segera menoleh. Ia melihat tangan berinfus itulah yang ternyata menarik bajunya. Tatapan Jo kemudian beralih kepada pemilik tangan, Qiandra.

"Jo, jangan tinggalin gue. Gue ... udah inget semuanya."

Sontak perkataan Qian membuat mata Jo membulat sempurna. Qian ingat semuanya. Qian ingat Jo. Qian ingat persahabatan mereka. Jo tersenyum, matanya menghangat. Perasaaannya campur aduk. Haruskah Jo bahagia? Atau sebaliknya? Akhirnya Qiandra kembali. Tapi kenapa Jo merasa ragu harus merasa senang atau sedih?

Jo menelan salivanya dengan susah payah, "Lo ... inget?" Qian mengangguk, "Semuanya?" tanya Jo lagi.

"Gue inget semuanya Jo. Lo, Joan Effendi, bocah yang dulu nolongin gue waktu gue telat dijemput. Joan Effendi yang berhasil bikin gue bisa ngerasain rasanya punya orang tua. Joan Effendi yang berhasil bikin gue senyum setiap hari."

Jo mengerjap dua kali. Rasanya sepeti mimpi. Setelah satu setengah tahun ini dirinya bersusah payah pura-pura tidak mengenal cewek di depannya ini, setelah satu setengah tahun ia dibenci setengah mati oleh seorang Qiandra, apa yang dikatakan Qian barusan benar-benar seperti mimpi.

Mata Qian berkaca-kaca, perasaannya campur aduk. "Kenapa lo pura-pura nggak kenal gue selama ini? Kenapa lo biarin gue ngelupain lo, Mama dan Papa? Lo tahu? Gue ngerasa jahat banget ngelupain orang-orang seberharga lo dan orang tua lo. Terutama ...," Qian merasa suaranya tersangkut di tenggorokan, hingga membuat matanya menghangat. "Terutama nyokap lo," lanjut Qian dengan suara serak.

Jo mengembuskan napas panjang, "Maaf, Qi. Bukan maksud gue sengaja lari dari kehidupan lo. Waktu tahu lo lupa sama gue, waktu tahu lo lupa semua kenangan kita, gue terpukul banget. Gue bener-bener kehilangan. Setelah Mama ninggalin gue untuk selamanya, terus lo tiba-tiba lupa sama gue. Kehilangan dua orang yang gue sayang secara bersamaan itu rasanya ... sakit, Qi. Waktu itu gue bener-bener hancur."

KARMA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang