Hujan datang selalu membawa dua alasan, untuk kebahagiaan dan kesedihan. Seseorang bahagia atau bersedih saat menyaksikan jatuhnya rinai dapat disimpulkan dari seberapa indah/menyakitkan masa lalunya.
-RINAI
_______________Hai. Namaku Rinai. Kata eyang, aku lahir saat rinai hujan mulai berjatuhan. Mulai berjatuhan dari langit-langit Tuhan, juga mulai berjatuhan dari langit-langit mata sendu ibuku. Ya, aku mewarisi kesenduannya. Sesendu suasana saat hujan menyapa dan daerah sekitar menyeruakkan aroma tanah yang menyengat, kekhasan hujan. Namaku Rinai, lahir tepat guntur mendungukan rerumputan yang memang dungu dalam keramaian, dan menyilaukan netra yang menyaksikan kilat nestapa. Namaku rinai, selanjutnya jangan pernah bertanya tentang kelengkapan namaku, karena nama lengkapku mengandung unsur nama pengkhianat itu! Pengkhianat yang dulunya adalah malaikat bagi ibuku. Pengkhianat yang diriku sendiri pun taktahu, siapa dia.
Well, di sini aku memang bukan pemeran utama. Tapi, aku juga punya sedikit cerita.
Aku berfikir keras, bahwa AKU BERHAK BAHAGIA!!
BERHAK BAHAGIA!
BERHAK BAHAGIA!
YA, AKU BERHAK BAHAGIA!Tapi, kebahagiaan nyataku telah sepenuhnya terampas oleh tangan berdosa itu! Kebahagian yang kumiliki saat ini hanyalah sebatas bahagia palsu. Sebuah siasat yang kurancang sekuat tenaga dan fikiran hanya untuk memenuhi keinginan 'Bahagia'. Tapi, yang sebenarnya terjadi adalah aku telah memanipulasi bahagiaku sendiri dengan sebuah kepalsuan dan kebohongan.
Selama ini aku cukup mengalah dengan takdir. Selama ini, kubiarkan takdir merampas apa yang aku miliki. Pertama, ayah-maaf, bukan ayah, tapi pengkhianat yang menjadi asal-muasal sirnanya harapanku untuk bahagia.
Pertama, ayah pergi meninggalkan ibu disaat ibu jatuh dari masa mulianya, masa di mana segalanya begitu mudah didapat dengan adanya uang, termasuk cinta pengkhianat yang sama sekali tidak terlintas dipikiran ibu bahwa ayah sepicik itu. Aku tidak banyak bertanya mengenai hal tersebut kepada eyang, termasuk penyebab jatuhnya reputasi keluarga eyang karena ay- maaf, pengkhianat maksudku.
Pengkhianatan ayah berujung pada pengkhianatan ibu yang tega hendak membuangku di saat tubuh mungilku masih berwarna merah. Namun Eyang mencegahnya. Mungkin jika ibu berkhianat kepadaku bisa kumaklumi, karena bagaimanapun juga ibuku adalah korban pengkhianatan ayah, ia hanya melampiaskan kemarahannya padaku. Aku juga tidak tahu alasan ibu menjadikanku sebagai pelampiasannya. Jujur, aku iri dengan kakakku yang selalu mendapat curahan kasih sayang ibu.
Aku sudah merasa tidak nyaman dengan semua perlakuan ibu. Wajah dinginnya dan semua sikap dingin selalu ditujukan kepadaku. Bahkan, ibu selalu memarahiku karena hal sepele. Aku memutuskan pergi dari rumah. Aku pergi begitu saja tanpa memberi tahu ibu atau pun kakak. Aku berharap dengan kepergianku, ibu akan sadar dan segera mencari tahu keberadaanku. Terukir jelas di pikiranku ibu akan memasang wajah panik, menangis, gelisah dengan kepergianku. Tapi, apa yang terjadi? Tak ada salah satu dari mereka yang berusaha mencari tahu keberadaanku selain eyang dan aku memutuskan untuk tinggal bersama eyang.
Menginjak usiaku yang ke-9, takdir kembali merenggut paksa seluruh tawaku. Eyang berpulang ke rumah Allah. Mengapa? Apakah Eyang bosan mengurusku? Apakah aku anak yang nakal, sehingga membuat eyang kesal? Apakah aku merepotkan Eyang? Apakah aku sulit di atur? Apakah aku anak manja? Apakah Eyang merasa sedih dengan kehadiranku? Tidak! Eyang bukan ibu.
Aku kembali pontang-panting di jalan. Lapar membelit perutku. Haus. Panas. Polusi. Debu.
3 bulan aku hidup di jalan. Hanya dengan berbekalkan plastik bekas permen, aku memulai langkah kecilku untuk mengais rezeki dari satu bus ke bus lainnya, dari satu jalan ke jalan lainnya, dari satu pengguna jalan ke pengguna jalan lainnya. Hingga aku merasa gusar dengan semuanya. Aku merasa liar. Aku merindukan masa di mana Eyang melarangku untuk begini dan begitu yang menurutnya tidak baik untukku.
Takdir kembali merenggut bahagiaku. Sebuah mobil menabrak lari diriku yang tengah mengais rezeki di sebuah perempatan jalan raya. Aku kecil yang saat itu belum sempat tahu apa yang terjadi, tiba-tiba langsung taksadarkan diri.
Saat aku terbangun dari pejaman mataku, suasana yang selama ini kurindukan kembali. Rumah. Betapa girangnya diriku saat mengetahui posisiku sedang berada di kamar sebuah rumah. Tidak, ini bukan rumah. Seseorang paruh baya memberi tahuku bahwa ini adalah panti asuhan. Ya, meskipun begitu aku tetap bersyukur tidak lagi pontang-panting di jalan.
4tahun hidup di panti, membuatku paham arti nyamannya ikatan kekeluargaan. Penjaga panti yang ramah dan teman-teman yang menerimaku apa adanya. Hingga akhirnya seseorang yang dermawan mengadopsiku menjadi putrinya.
Maaf, salah. Aku yang terlalu lemah tidak menyadari semua. Seseorang yang mengadopsiku tidak benar-benar mengadopsiku. Ia hanya menganggapku sebagai bonekanya untuk menutupi rasa malunya karena belum diberikan momongan. 1 bulan tinggal dirumah besar itu, aku memilih pergi dan kembali pontang panting di jalanan.
Dari situlah aku belajar dan mulai memahami takdir Tuhan. Tuhan memiliki dua takdir yang sempurna, yang tak dapat diotak-atik oleh insan mana pun, dan yang dapat dibenahi oleh insan yang mau berusaha.
Aku akan berusaha, aku akan menggenggam erat apa yang aku punya dan akan kukejar apa yang harus menjadi milikku. Aku tidak mau kehilangan lagi. Aku akan menantang takdir yang dapat diubah, aku akan mengubahnya sesuai alur plot yang aku inginkan. Tapi aku tidak serta - merta lupa, Tuhan jauh mengetahui yang terbaik untukku. Hem, aku tidak boleh menyerah dengan takdir.
Lain kali aku akan melanjutkan cerita rumpangku. Aku belum menceritakan tentang bagaimana aku bisa jatuh ke orang tua angkat yang memiliki hati peri itu. Belum saatnya, mungkin lain kali.
Aku akan berusaha, aku akan menggenggam erat apa yang aku punya dan akan kukejar apa yang harus menjadi milikku. Termasuk dirimu, Rasya. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku. Saat ini, aku memang memiliki segalanya. Tapi, aku tidak akan pernah merasa puas jika kau belum menjadi hakku. Aku rela menjadi pribadi lain untuk melawan takdir, aku rela untuk beruah menjadi jahat untuk mendapatkan apa yang seharusnya kudapatkan. Please, jangan menilaiku sejahat itu. Seharusnya seseorang menyalahkan keadaan. Karena apa? Karena keadaan masa laluku lah yang memaksaku untuk berbuat seperti ini. Aku tidak ingin rasa sakitku bangkit. Aku tidak ingin kelamnya masa laluku terulang dalam rancangan indah masa depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibal Qalbi (Rohis Version)
SpiritualeBerawal dari korban TOD. Syifa mendapat giliran 'dare' untuk menembak Kak Rasya-Ketua Rohis Departemen Dakwah yang anti-pati sama pacaran. Lebih parahnya lagi. Harus diterima. Tantangan yang gila, dan mendapat reaksi gila dari rekan-rekan rohisnya. ...