Syifa menghardik dirinya sendiri yang selalu membuat masalah di atas masalah. Ia menghitung debit waktu yang tersisa untuk memperlambat lajunya waktu yang mungkin akan tertelan bulan dan takkan pernah ia jumpai kembali. Bagaimana mungkin ia menaruh harapan yang tinggi pada Rasya, sementara dirinya sendiri masih terjebak dalam permainan TOD.
Syifa melangkahkan kaki mendekati jendela. Ia menatap langit-langit yang tiada berbintang, sedikit remang cahaya rembulan. Ia menyisipkan sedikit tanya kepada alam, mengapa malam begitu pekat dan sunyi sementara siang berwarna cerah dengan gaya dan retorika ceria.
Syifa tersenyum samar, memandangi bulan sabit yang seperti mengajaknya untuk terbang."Mungkinkah hukum alam memang benar-benar ada?" Ia bertanya pada kegelapan malam. Tanyanya takberhenti pada suara jangkrik yang terus-menerus menghidupkan suasana malam yang memang ditakdirkan untuk berwajah sendu.
"Jika iya, apakah saat ini hukum alam sedang menghakimiku?" Sekali lagi ia bertanya pada rembulan yang menatap teduh ke arahnya. Lagi-lagi hanya suara jangkrik yang terkesan seperti menjawab pertanyaannya.
"Membalikkan hatiku yang semula beku. Ya, aku menaruh harapan kepada Kak Rasya," senyum Syifa mengambang. Ia memejamkan mata dan menarik nafas pelan-pelan, lalu menghembuskannya perlahan. Aroma malam yang khas membuat Syifa bangkit dan beranjak pergi mendaki ranjang.
**
Syifa mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya. Ia yang sudah terbangun dari mimpinya, beranjak mengintip takut-takut di balik pintu. Ia kaget mendapati ayahnya di luar kamarnya. Ayahnya-Adhi pulang ke Indonesia tanpa memberi kabar. Ia ingin berlari keluar kamar untuk memeluk Adhi yang sudah 3 bulan tidak pulang ke rumah karena pekerjaannya sebagai Dosen Universitas di Kairo. Namun urung. Syifa membeku di kamar. Suara silat lidah antara Ayah dan ibunya semakin jelas terdengar. Syifa yang saat itu tengah berdiri di balik pintu, kembali meringkuk di atas tempat tidurnya. Mengurungkan niat untuk mandi, juga mengurungkan niat keluar kamar.
Jeda beberapa menit, taklagi terdengar suara ribut-ribut di luar. Hanya terdengar suara tik-tok jam yang memenuhi ruangan. Nafas Syifa turut membaur bersama deru suara AC.Syifa yang dengan malas-malasan mengintip alarm. Tubuhnya yang berbalut selimut memberikan celah kepada tangan kanannya untuk mengambil alarm di meja kecil dekat tempat tidurnya.
Pukul 09.45. Tidak seperti biasanya. Kali ini ia bangun sesuka hatinya. Tidak ada ketukan lembut Ratna-Ibunya saat ia bangun terlambat. Tidak ada yang menyibakkan gorden untuk memberi kesempatan matahari menyapanya. Tidak ada yang menarik selimutnya. Tentunya tidak ada yang menyuruhnya segera bergegas ke sekolah sebelum pukul 07.00.
Syifa tidak tahu persis apa yang terjadi. Yang pasti hari ini dia kedatangan tamu special, ayahnya. Walaupun ia taktahu, sespecial apa hingga akhirnya ia memilih bungkam di kamar.
Ya, Syifa sangat tidak menyukai bentakan dan segala macam kekerasan. Tadi, sangat jelas terekam suara bentakan Adhi dan tangis Ratna yang pecah.
Antara sedih, cemas dan berharap, Syifa mengintip takut ke luar pintu. Kosong. Sepi. Tidak ada orang. Dengan langkah yang gemetar, Syifa mulai melangkahkan kaki menjauhi kamarnya. Ia merasa lapar, meskipun tidak begitu selera.
Kesunyian rumahnya bukan karena takberpenghuni. Justru di balik sudut ruang tamunya, dijumpai Ratna yang sedang duduk bersimpuh dengan kedua lengan menelungkup ke wajahnya. Sesenggukan, isak tangis yang dalam, pilu-amat memilukan. Ratna mengusap hidung merahnya. Matanya membengkak. Sedikit lebam di dekat sudut matanya. Melihat itu semua hati Syifa ikut bengkak, mendesir pilu. Tanpa ragu ia berlari memeluk Ratna. Ratna mendadak menghentikan isaknya. Mengusap kasar dan cepat air matanya.
"Mama kenapa?" Syifa bertanya lirih tanpa melepas pelukannya. Seketika hati mamanya bertambah sakit sekaligus damai.
Tak ada jawaban. Ratna tak sanggup berkata-sepatah pun. Suaranya tercekat dikerongkongan. Sementara kata-katanya hanya berkutat di ubun-ubunnya yang seperti memiliki jantung-berdetak.
"Mata mama kenapa? Kok mata mama lebam?" Syifa melepas pelukannya. Menyentuh lembut luka mamanya. Sementara luka batinnya takmampu dijangkau Syifa. Terlalu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibal Qalbi (Rohis Version)
SpiritüelBerawal dari korban TOD. Syifa mendapat giliran 'dare' untuk menembak Kak Rasya-Ketua Rohis Departemen Dakwah yang anti-pati sama pacaran. Lebih parahnya lagi. Harus diterima. Tantangan yang gila, dan mendapat reaksi gila dari rekan-rekan rohisnya. ...