Dia Yang Berbeda

1.7K 121 8
                                    

Syifa perlahan mulai mendengar hatinya yang memberontak karena ulah pikirannya yang tidak sinkron. Pikirannya yang berulang kali mencetuskan dan meyakinkan hati akan perasaannya yang hanya setipis fana dan setebal kabut yang menyusahkan netra. Pikirannya berulang kali pula memberontak dan menyalahi cinta, jika Syifa seharusnya tidak perlu merasa sesak saat berpapasan dengan Rasya. Syifa haruslah teguh pada pendiriannya yang menentang keras hadirnya cinta dalam hidupnya karena sesuatu yang pernah ia rasakan sebelumnya begitu menyesakkan. Namun, semakin pikirannya memberontak, saat itu pula hatinya mengetuk pandangan Syifa bahwa tidak semua masa lalu akan menyamai masa depan. Tidak semua trauma akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Tidak semua rasa sakit selamannya akan menyeret mendung di atas kenyamanan hidup. Tidak. Dunia ini selalu berputar.

Seharusnya Syifa lebih mendengarkan kata hati yang menuntutnya untuk membuka kembali lembaran baru dan juga seseorang yang baru untuk singgah di hatinya.

Syifa selalu mempermasalahkan dan menannyakan bagaimana rasanya bisa muncul secara tiba-tiba tanpa ia ketahui apa penyebabnya.

Untuk kesekian kalinya Syifa kembali berhadapan dengan Rasya. Sepertinya tidak ada hari tanpa bertemu dengannya. Entah memang kebetulan atau skenarioNya, jujur Syifa tidak terlalu menyukainya karena Syifa harus mengatur ritme detak jantung dan menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba memanas dan merah. Tanpa sengaja, Syifa menatap gurat raut wajah Rasya yang selalu terlihat damai dan sejuk. Wajah Rasya yang jarang senyum, kalau senyum sekilas jadi kaku. Tapi, dulu pernah sekali sewaktu perkumpulan anak-anak rohis, tawa dan senyumnya lepas. Tidak lagi terlihat kaku. Bahkan ekspresi tawanya susah untuk diungkapkan lewat kata-kata. Hal itu yang terkadang membuat Syifa terbayang-bayang oleh sebuah senyum yang takpernah ia jumpai sebelumnya.

Syifa lebih sering bertemu dengan Rasya di perpustakaan. Wajah Syifa terlihat makin pias saat tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Apalagi sampai sekarang belum ada keterangan lebih lanjut tentang TOD yang dulu. Syifa sedikit jengkel karena merasa digantungkan dan sedikit malu.

Syifa melangkah menuju rak buku nomor 6A tentang Agama. Ia mencari buku yang ingin dibacanya. Tanpa sengaja, di balik buku 6A Syifa berhadapan dengan Rasya.  Tatapan mata mereka kembali bertemu. Rasanya bibir Syifa ingin tersenyum sipu sendiri secara lancang, namun Syifa segera menahannya dan berujung pada pipinya yang memerah.

''Syifa, kakimu udah baikan?'' Tanpa sadar suara berat tersebut berhasil meningkatkan kecepatan laju ritme jantung Syifa. Aku ini kenapa? Nggak biasanya kaya gini! Ayolah, Syif! Masa cuma gara-gara diobatin lukanya, lo jadi suka sama game lo sendiri! GILAA!

Dari balik rak buku, Syifa menyahut pertanyaan Rasya dengan suara lirih dan aneh didengar,''I-iya K-kak.. Udah Men-dingan..''

''Syif, aku boleh ngomong sama kamu nggak?''

''Ngomong tentang apa, kak?'' mendadak jantung Syifa seperti berhenti berdetak. Yaa Allah, jangan-jangan Kak Rasya mau ngomongin tentang TRUTH OR DARE yang dulu. Duh, belum siap...

''Insyaa Allah ada hikmahnya. Tapi jangan di sini, ya?''

''Di mana, Kak?''

''Di mana, ya? Yang nggak sepi, tapi juga nggak rame. Biar nggak cuma berdua dan biar nggak ada salah paham,''

''Sudut baca depan perpus aja kak!''

Mereka berjalan dengan posisi Syifa yang di depan dan Rasya di belakang. Syifa memikirkan dalam - dalam apa yang akan dibicarakan Rasya kepadanya.

''Saya harap kamu tidak sepolos itu, Syif,'' Rasya membuka percakapan yang menggantung. Syifa mengernyitkan dahi dan memincingkan matanya. Apakah ini ada hubungannya dengan TOD minggu lalu? batin Syifa. Rasya ancang-ancang menarik nafas dalam.

''Dunia ini cuma setting-an! Tidak pernah ada yang namanya pertemanan tanpa timbal balik! Tidak ada persahabatan tanpa adanya suatu titik pertikaian, dan tidak selamanya sahabatmu menjadi pelipur laramu. Barangkali orang-orang munafik di belakangmu berusaha memanipulasimu dengan memanfaatkan topeng milik orang yang memang baik untuk mendapatkan sesuatu darimu. Ah, andai kau tahu manusia-manusia picik itu raja bual dan ratu dusta! Lihat mereka yang kau hujat, justru wajah kebaikan mereka dirampas oleh orang munafik untuk dijadikan topengnya membelakangi mata polosmu, Syifa! Saya harap kamu adalah pemain drama yang handal juga! Tapi, tidak pernah ada kejujuran tanpa disertai kebohongan!'' Rasya berseru dengan sorot mata yang menatap tajam lantai. Sontak Syifa terperanjat. Bagaimana tidak? Syifa yang kurang memahami kata-kata Rasya mulai celimpungan mencari makna tersirat dari ucapan Rasya. Detik itu juga Syifa merasa ada sesuatu yang aneh dari Rasya. Rasya yang selalu ia jumpai dengan ciri khasnya yang tidak banyak berbicara, kini dihadapannya ia sudah siap dan sudah meluncurkan kata-kata yang panjang lebar. Bahkan, Syifa hanya menjawabnya dengan latah dan patah-patah. Entah mengapa, Syifa melihat ada segurat kecemasan dan kekhawatiran yang terselubung dalam wajah Rasya yang terus menunduk.

''Syif, jangan terlalu polos!'' Untuk kesekian kalinya Rasya berseru demikian.

''Maksud, kakak?''

''Syif, ayolah berhenti bertingkah kekanakan! Saya harap kamu paham, dunia yang kamu kira baik nggak selamanya baik! Termasuk teman-temanmu sendiri!'' Syifa kaget bukan kepalang. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada badai. Lantas, mengapa Rasya bertindak demikian secara tiba-tiba? Bukankah selama ini mereka tidak dekat? Berbicara saja jarang. Lalu, mengapa semua tiba-tiba seperti ini?

Habibal Qalbi (Rohis Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang