33. Kuawali Dengan Syahadat (END)

6.2K 295 10
                                    

"Ikuti Bapak ya, Nak!" Nathan mengangguk. Ia memilih untuk menunggu apa yang disarankan oleh Ustadz Hanafi.

"Ashadu alla ilaha illallah."

"A-ashadu a-alla ila—"

"Ilaha illallah." Ustadz Hanafi membenarkannya.

" I-ilaha illallah."

"Wa ashadu anna muhammadarrasullulah." lanjut Ustadz Hanafi dengan sabar membimbing Nathan dalam mengucapkan kalimah syahadat.

"Wa ashadu a-anna muha-mmmada-rr—"

"Rasullulah." lanjut Nathan ketika ingat kembali potongan kalimahnya.

Ustadz Hanafi terus membimbing Nathan mengulangi kalimah syahadat yang belum terlalu lancar dihafalkannya. Setelah dua kali mengulang, akhirnya Nathan dengan lancar mengucapkan kalimah sakral tersebut.

"Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah."

"Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah." ucap Nathan dengan lancar.

"Alhamdulillah...." seru semua yang ada di sana. Alika yang ikut menyaksikan prosesi masuk Islam-nya Nathan yang kini menjadi calon suaminya bersama keluarganya dan Umi Aisyah menitikkan air matanya haru. Ia bangga dan bahagia dengan perjuangan Nathan. Ia harap, selamanya Nathan akan tetap menjadi seorang muslim yang ta'at dan membimbingnya bersama-sama menuju surga Tuhan yang sesungguhnya.

"Selamat, kini kamu sudah resmi menjadi mu'allaf sekarang. Besok kita akan melaksanakan khitanan untuk menyempurnakan syarat-syarat muslim-mu." Nathan meringis membayangkannya. Ia diberitahu tentang syarat-syarat untuk menjadi muslim oleh Ustadz Hanafi, diantaranya adalah harus melaksanakan khitanan sebagai tanda seorang muslim sudah wajib melaksanakan perintah Allah seperti sholat dan mengaji. Setelah diberitahu khitanan itu seperti apa, ia menjadi ngeri membayangkan benda miliknya sendiri. Berbagai pikiran konyol mulai melintasi benaknya. Ustadz Hanafi tersenyum seakan tahu apa yang dipikirkan Nathan.

"Jangan takut! Semuanya gak semengerikan yang kamu bayangkan, Nak." Nathan menatap Ustadz Hanafi.

"Tapi, Pak..., saya takut dan..., malu...." ucap Nathan malu-malu. Ustadz Hanafi tersenyum geli.

"Kamu lelaki, Nak! Tak ada yang perlu kamu takutkan dan dikhawatirkan." Nathan akhirnya mengangguk pasrah.

"Ingatlah tujuanmu setelah ini!" pesan Ustadz Hanafi. Nathan tersadar dan ia mencoba menyingkirkan semua rasa takutnya.

***

"Apa benar Al berita itu?" tanya Fadli dengan tatapan serius pada Alika di depannya. Tadi, saat Alika pulang dari mesjid tempat diadakannya prosesi masuk Islam Nathan, ia pulang dulu saat dilihatnya Nathan sedang berbicara dengan Ustadz Hanafi. Kebetulan, ia bertemu dengan Fadli yang sepertinya baru pulang bekerja. Dan di sinilah, di warung makan dekat gang rumah Alika, mereka sedang mengobrol empat mata.

"I-iya, Bang...." jawab Alika sedikit gugup. Raut wajah sedih, kecewa dan patah hati jelas tergambar di wajah lelaki itu.

"J-jadi..., se-sebentar lagi..., kamu akan menikah dengannya?" Alika mengangguk pelan. Ia tak berani menatap Fadli. Wajahnya menunduk gugup. Fadli memejamkan matanya menahan rasa sakit di hatinya. Harapannya untuk memiliki gadis itu seutuhnya pupus sudah.

"B-Bang...." panggil Alika hati-hati.

"Ya..., semoga dia bisa membahagiakan kamu. Mungkin dia memang jodoh kamu." ucapnya pasrah. Alika menatap Fadli tak enak.

"A-Abang gak apa-apa, 'kan?" Fadli tersenyum. Namun bukan senyuman yang bermakna suka cita, melainkan untuk menutupi kehancuran hatinya yang baru saja retak dan patah.

"Aku turut bahagia jika itu membuatmu bahagia. Apakah kamu mencintainya?" Alika mengangguk. Kini, Fadli benar-benar hancur bagai debu.

"Sudah jelas sekarang. Semoga dia benar-benar menjagamu dan melindungimu. Kita pulang dulu sekarang, ayo!" ajaknya yang diangguki oleh Alika.

***

Nathan melihat gadis yang kini menjadi calon istrinya sedang mengobrol berdua dengan lelaki yang menjadi saingannya selama ini untuk memenangkan hati Alika di sebuah warung makan. Ia bertanya-tanya, apa yang sedang mereka bicarakan. Wajah mereka terlihat serius dan tegang. Dengan masih penasaran, dihampirinya mereka yang beranjak dari duduknya.

"Hai! Aku cari kamu ternyata di sini." Alika menjadi salah tingkah seperti baru kepergok sedang berselingkuh. Fadli menatap Nathan datar.

"Eh, P-Pak... Kebetulan tadi di jalan ketemu sama Bang Fadli dan kami mengobrol sebentar di sini." jelas Alika agar Nathan tidak salah paham. Sebentar lagi mereka akan menikah, dan Alika ingin semuanya selesai tanpa ada pihak-pihak yang berniat untuk menghambat kelancaran dan kekhidmatan pernikahan mereka nanti. Nathan mengangguk sambil menatap Fadli yang terlihat acuh.

"Oh. Kamu mau pulang sekarang?" Alika mengangguk.

"Selamat atas pernikahan kalian sebentar lagi." ucap Fadli tiba-tiba. Nathan mengangguk sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Alika merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Ia tak mau mereka ribut.

"Thanks. Semoga cepet nyusul dan dapetin yang lebih baik." Alika menatap Nathan tidak setuju karena kata-katanya terdengar seperti menyindir Fadli. Fadli tersenyum tipis.

"Makasih. Aku pulang duluan. Assalamu'alaikum." ucapnya sambil berlalu meninggalkan mereka berdua dengan motornya.

"Ayo kita pulang!" ajak Nathan yang diangguki oleh Alika. Mereka berdua pun meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan beriringan.

"P-Pak...." panggil Alika saat mereka tak bicara sepatah kata pun. Nathan menoleh.

"Mulai sekarang jangan panggil Bapak, dong! Aku kan bukan bos kamu lagi." ucap Nathan sambil tersenyum. Alika terlihat berpikir.

"Ehm... M-Mas Nathan...." Nathan tersenyum memperlihatkan giginya yang putih rapi.

"Aku setuju. Mulai sekarang, panggil aku dengan nama itu." Alika mengangguk sambil tersenyum."

"Terima kasih, Alika." Alika mengerutkan keningnya.

"Untuk?"

"Balasan cinta kamu untukku dan mau menerimaku meski keadaanku tak sekaya dan segagah dulu lagi." ucap Nathan sambil menatap Alika. Alika tersenyum lembut.

"Tak perlu banyak harta yang melimpah untuk kita bahagia. Cukup hal sederhana yang wajib kita punya, kepercayaan dan kesetiaan. Tanpa semua itu, hubungan tidak akan berjalan dengan mulus dan baik." ucapnya. Nathan takjub dengan pemikiran sederhana, tapi mampu menyentuh hatinya itu. Sekarang, ia benar-benar yakin kalau ia tak salah memilih teman hidup.

"I love you." ucapnya spontan. Alika menoleh dan terdiam sejenak. Rona merah langsung menjalari wajah ayunya.

"Saya tahu, Mas...." jawabnya malu-malu. Nathan tersenyum melihat tingkah malu-malu gadis yang sebentar lagi akan resmi menjadi wanitanya itu dengan gemas seperti biasa, namun tak mengurangi tatapan penuh cinta di antara keduanya.


Terima kasih bagi yang sudah membaca dan memberi vote-nya. Cerita berlanjut ke SEASON 2. Ditunggu, ya :)

Assalamualaikum

Where Is Heaven? (SEASON 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang