Bandung, Mei 2009
Dia itu sudah menjadi musuhku sejak SMP, bukan musuh yang bagaimana-bagaimana. Iya bukan yang harus berantem dan saling pukul-pukulan, bukan. Tidak mungkin cowok satu itu mampu memukulku, awas saja sampai dia menyentuh aku akan kuhajar dia habis-habisan.
Benci.
Iya, sangat besar rasa benciku ini kepada lelaki yang selalu mencari masalah denganku itu. Dia selalu ingin bersaing denganku, mau itu di mata pelajaran ataupun di eskul jurnalistik di sekolah. Betapa menyebalkan setiap hari dia selalu mencari lubang-lubang kecil agar reputasiku hancur di depan guru atau pembimbing jurnalistik.
Betapa menyebalkannya hidup ini di saat aku harus berlapang dada pada kenyataan. Dia tetanggaku, dia teman satu sekolah sejak SD, orang tua ku dengan orang tua nya begitu dekat. Betapa harus berlapang dadanya aku saat diriku harus mampu setiap malam minggu, keluarga kami mengadakan acara makan malam bersama. Betapa rancunya bagiku, keluargaku dengan keluarganya sangatlah akrab dan romantis sekali. Padahal seumur hidupku yang aku tahu ; aku benci dia.
Tapi beberapa hari sebelum perpisahan, sikapnya jauh kebanting dengan sikapnya sehari-hari dulu--ketika masih sekolah-- yang gemar sekali membuatku naik darah.
"Gue mau jadi polisi," ujarnya malam itu padaku saat kami di acara perpisahan sekolah.
"Ya udah sih, daftar SPN aja sana. Enggak usah daftar universitas ya, apalagi universitas yang sedang gue incar. Gue enggak mau ketemu lo lagi," ujarku waktu itu. Dia malah terkekeh, sehingga mata sipitnya semakin mengecil.
Dia tertawa seperti itu, luluh lantak semua benteng sok judes milikku.
Kadang kata benci tidak selalu diartikan dengan rasa tidak suka. Kadang kata benci malah bisa menjadi akronim dari : BENar-benar CInta. Ya, ketika mendapatkan arti benci sebagai akronim dari "benar-benar cinta" itu berarti kamu sedang berada di fase karma. Apalagi kalau bukan karma namanya. Kamu mengaku benar-benar tidak menyukai segala yang ada pada dirinya, kemudian entah datang dari mana menyelinap perasaan brengsek seperti : rindu, cinta, sayang dan lain sebagainya.
Masih di malam perpisahan. Masih di tempat yang sama, yaitu di sebuah ballroom hotel berbintang lima di kawasan Setia Budi, Kota Bandung. Sekitar pukul delapan lewat tiga puluh malam. Ketika acara perpisahan itu hampir selesai, aku menghampiri musuhku itu. Dia berdiri di balkon sedirian.
Aku gugup sekali, di sana pun banyak orang--walaupun mereka sibuk berswafoto dan tidak mungkin akan menyadari apa yang akan aku lakukan nanti-- tapi tetap saja, aku takut. Lelaki yang memakai jas navy itu benar-benar menyebalkan dan mengagumkan di waktu yang bersamaan.
Jadi, kita mulai pertunjukannya.
"Hai," sapaku kaku.
Dia memandangku heran. Barusan, sekitar duapuluh menit berlalu aku baru saja mengusirnya dengan rasa kesal seperti biasa. Namun tiba-tiba aku datang padanya dengan senyum kikuk.
"Lo kenapa?" Kalimat introgatif itu langsung keluar dari mulutnya.
"Gue mau ngomong sesuatu," ujarku lagi.
"Apa?"
Take a breath. Take a breath. Take a breath. Please relax.
"Jadi... anu, gue... mau jujur." Dan jujur saja, aku tidak sanggup melanjutkannya. Namun kurasa tidak ada jalan dan pilihan lain di sini.
"Gue... kalo gue suka sama lo, gimana?" tanyaku. Ya, aku malah bertanya. Harusnya aku memberikan pernyataan bukan malah pertanyaan yang terkesan bodoh seperti itu.
Cukup lama menanti apa yang akan keluar dari mulutnya. Aku sibuk memegang erat-erat bagian samping gaun panjang berwarna peach yang saat ini membalut tubuhku.
Kemudian pegangan erat itu berubah menjadi kepalan erat membuku di samping tubuhku kala mendengar gelak tawanya yang meledak-ledak. Matanya yang sipit itu mengecil dan sedikit berair, dia tertawa terbahak-bahak seraya memegang perutnya. Wajahnya memerah karena kerasnya tawa itu.
Hey, ini bukan lelucon prom night.
"Lo? Lo suka sama gue? Hahaha! Lo... haha... suka sama gue? Sarap ya lo? Hahaha." Dia tertawa. Masih saja tertawa. Tertawa tanpa menyadari air mata jatuh dari sudut mataku.
Dia menganggapku main-main.
Dan sejak detik itu, saat dia masih saja tertawa dan sibuk memegang perutnya, saat dia sibuk membungkuk-bungkuk tertawa, saat mata sipitnya masih saja terus mengecil, saat itu pula aku berlari. Mencari pintu keluar, lalu ke parkiran, dan pulang.
Aku berjanji, tidak akan memperlihatkan diriku lagi di hadapannya. Walaupun nanti di rumah, aku akan menghindar.
Sejak malam itu, aku menjadi penyembunyi ulung dari matanya.
***
{hi! semoga suka cerita baruku😘}
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
ChickLitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...