iii

73 5 0
                                    

Bandung,
Sabtu, 7 Februari 2015.

Tiyas menamakan kota ini sebagai kota cinta pertamanya. Kota tempat dia lahir, tempat dia besar, tempat dia sekolah, dan kota tempat dia mengenal temannya itu. Kalau Beni dan Jogja adalah satu paduan yang bisa mengobati lukanya, maka Bandung dan Rio adalah paduan yang meluluh lantakkan semua benteng pertahanan Tiyas.

Andrio Prakasa adalah cinta pertamanya. Lelaki itu adalah patah hati pertamanya. Semua hal yang pertama pada hidup Tiyas itu pasti bersangkut paut dengan Rio, lelaki yang Tiyas tinggalkan begitu saja ketika malam perpisahan, lelaki yang menertawakan pengakuan cinta Tiyas di malam perpisahan.

Sejak malam perpisahan itu, Tiyas sama sekali tidak mau menampakkan diri di depan Rio. Selain karena hatinya begitu sakit, dia juga malu harus betatap muka dengan Rio. Sering Tiyas mendengar kalau Rio mencarinya ke rumah, Mama selalu menelpon membicarakan kalau Rio kawatir dengan keadaan Tiyas, Rio yang beginilah begitulah. Tapi Tiyas tahu, Mama memang suka berlebihan terhadap sesuatu.

"Maaf Ma, pesawatnya delay beberapa jam. Tiyas terpaksa pulang malam nih kayaknya," ujar Tiyas ketika mendengar Mamanya mengomel lewat ponsel.

"Kunaon atuh? Kenapa ada aja halangan buat Tiyas pulang?!! Tapi Mama enggak mau tahu ya, Tiyas teh harus sampe dan ikut makan malam! Lagian apaan sih, masih pagi tea, delay nya kok bisa sampe malam?" Terdengar sekali lagi omelan dari Mamanya di ujung telepon.

Tiyas menahan tawanya sebisa mungkin mendengar Mamanya mengomel. "Iya Ma. Ya mau gimana lagi? Kalau Tiyas punya sayap, Tiyas bakalan terbang kok."

"Heh! Malah bercanda ieu mah! Ingat ya, kalau eneng enggak pulang juga sebelum makan malam, Mama teh bakalan telpon pihak masakapai yang kamu tumpangin itu. Kok delay selama ini?"

Mama memang selalu berlebihan. Makanya Tiyas tidak pernah mempercayai seratus persen ucapan Mamanya, termasuk soal Rio yang selalu mencari kabarnya.

*

Taksi yang dia tumpangi sudah berhenti di hadapan rumah mewah bergaya modern dengan cat berwarna cokelat muda. Pagarnya yang setinggi dagu mampu membuat Tiyas melongok ke dalam halaman rumah. Pintu tinggi berwarna hitam tertutup rapat. Untuk sejenak Tiyas dengan koper besarnya hanya tegak berdiri tanpa pergerakan apa-apa.

Kini jalanan komplek itu kosong. Taksi yang mengantarkannya sudah pergi.

6 tahun sudah dia tidak pernah kembali ke rumahnya hanya karena tidak pernah siap memaafkan masa lalu yang membuatnya nyaman hidup bergelimang dendam. Tiyas tetap diam, tidak menyangka dirinya hari ini pulang ke rumah. Lalu kepalanya menoleh ke belakang, ke arah rumah besar yang berhadapan dengannya rumahnya. Rumah yang sama mewah dengan rumah orang tuanya, berwarna abu-abu dan hitam.

Tiyas tersenyum sedikit. Beberapa hari yang lalu, salah satu penghuni rumah itu berada di Bali, menyapanya dengan sedikit senyuman, mata sipitnya tampak bercahaya tetapi menghunus hatinya. Bukan hanya mata sipit itu, namun senyumannya yang bisa mendinginkan sekaligus menghangatkan hati Tiyas. Jika benar kata orang bahwa jujur dapat melegakan hati, Tiyas setuju untuk sekarang, hatinya lega karena baru saja jujur bahwa ; dia merindukan Rio.

Ponsel yang berada di dalam sling bag nya berbunyi nyaring menyadarkan keterpakuan Tiyas di depan pagar rumahnya.

Mama.

"Iya..."

"Ini sudah siang ya, Yas. Mama teh enggak ada jalan lain, selain menghubungi pihak maskapai. Mama akan tuntut itu maskapai! Sekarang bilang kamu, kunaon iyeu teh sampe--"

"Ma, dari pada Mama buang-buang tenaga ngomel terus. Mendingan Mama bukain pagar rumah deh. Tiyas capek tahu berdiri terus di sini,'' potong Tiyas memberhentikan omelan Mamanya.

H A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang