Denpasar, Februari 2015
Suara berisik alarm membuat gaduh kamar apartemen dilantai 7 nomor 145 itu. Namun sang pemilik kamar bersikekeuh tak mau bangun dari tidurnya. Suara alarm yang dicuekkin itu semakin menjadi-jadi cukup menggaduh di pagi hari.
Tit tit tit tit...
"Hoaaaamm...'' Gadis itu menguap lebar-lebar ketika alarmnya sudah lelah.
Tangannya kemudian menggapai-gapai alarm yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sedikit merenggangkan badannya dan mencoba mengumpulkan nyawa untuk sekedar melihat sudah pukul berapa sekarang. Apakah sudah cukup cepat baginya untuk memulai kelas pagi ini atau malah sebaliknya.
7.45 a.m.
"HUAAAA! Gue telat!" Dia terperanjat dan berlari menuju kamar mandi. Mandi cukup sekedarnya saja, sekedar cuci muka dan menyikat gigi. Kemudian dengan telaten dia memasang pakaian dan berlari ke arah minibar yang terletak di sudut ruangan, sarapan sekedarnya saja, ya sekedar minum air putih.
Kemudian berlari menuju lift. Menunggu dengan sabar lift itu menghantarkan nya ke lantai dasar. Dengan kecepatan maksimal, dia menerobos orang-orang yang cukup ramai pagi ini di lobby apartemen. Menemukan mobil Civic--yang ia sewa-- dengan sekejap, dan menginjak pedal gas dengan kecepatan maksimal.
"Aduh! Kalau telat, gue bakal tetap ngajar sampai sore dong. Yahh, 'kan udah mesen tiket pulang," ujarnya frustasi seraya memegang setir erat-erat.
Hari ini dia akan memberikan pelatihan untuk guru-guru sekolah dasar di daerah Tampaksiring di pulau Bali. Menjadi tenaga pendidik, mengajarkan guru-guru yang ada di sudut daerah itu. Mengambil konsentrasi tentang perkembangan pendidikan, menuntutnya harus terjun langsung ke lapangan seperti ini.
Hari ini, hari terakhir ia mengajar di Tampaksiring. Walaupun rasanya berat meninggalkan semua yang ada di sini, namun ia harus pulang. Dua rumahnya di pulau lain sudah menunggu dan dia rindu. Bandung dan Yogyakarta.
Bandung adalah rumah dari segala rumah baginya. Tempat tinggalnya di sana, orang tuanya di sana, dan kamar tidur ternyaman di seluruh dunia pun ada di sana, dan untuk Yogyakarta, Si Kota Istimewa--tak terkecuali bagi gadis berambut sebahu itu-- baginya Yogyakata memanglah kota istimewa. Kota tempatnya belajar, kota tempatnya menempuh pendidikan strata satu hingga saat ini sedang menyelesaikan studi strata duanya. Yogyakarta, kota tempat dia lari dari masalah, kota tempat pelampiasan luka dan masalah, kota yang siap memeluknya dengan segala kesibukan yang benar-benar menyenangkan.
Nanti sore, rencananya dia akan pulang mengajar dari Tampaksiring langsung ke Denpasar dan terbang menuju Yogyakarta, kemudian tidur semalam di Yogyakrta, dan kembali pulang ke rumah sebenarnya. Namun sepertinya hanya wacana, karena terlambat memberi kelas pelatihan guru pagi ini, ia harus rela mengorbankan tiket pulang ke Yogyakarta demi mengajarkan tenaga pendidik di desa kecil yang asri itu.
*
"Iya... ya Tiyas minta maaf, Ma... mau gimana lagi coba? Tiyas benar-benar harus nyelesain kelasnya sampai sore." Kemudian ada jeda, mungkin ia sudah lelah berdebat dengan Mamanya soal tidak jadi pulang hari ini.
"Besok Tiyas pulang. Tapi, Tiyas mesti ke Jogja dulu, udah tiga bulan Tiyas ninggalin kos di sana, harus pastiin kos nya enggak kenapa-kenapa," jelas Tiyas, Si Gadis yang Gagal Pulang Kampung itu.
"Iya, Ma... Tiyas janji pulang. Ya udah, Tiyas lagi packing nih, udah dulu ya. Bye, i love you.'' Menutup telponnya kemudian menghempas badannya ke atas spring bed berukuran sedang itu.
Di Tampaksiring tempat penginapan sudah penuh, mungkin karena musim liburan kuliah. Terpaksalah Tiyas menyewa apartemen di Denpasar dan harus rela pulang pergi Tampaksiring-Denpasar hampir di setiap hari. Jadi wajar saja jika malam ini, Tiyas merasa tulang-tulangnya rontok semua.
"Ke pantai dulu ah, besok 'kan mesti pulang. Gue butuh refreshing juga kayaknya," ujarnya kemudian bangkit meraih tas selempangnya dan keluar menuju pantai.
Setelah memastikan semua barang-barangnya sudah dimasukkan ke dalam koper, dia berjalan keluar kamar dan menuju lift. Apartemen yang dia sewa untuk tiga bulan ini terasa sudah sangat akrab dengan dirinya. Semua yang ada di apartemen ini, tetangganya, Tampaksiring dan semua yang ada di Bali ternyata sama seperti Yogyakarta yang bisa mengobatinya secara perlahan.
Tanpa alas kaki Tiyas berjalan, membiarkan pasir lembut dan ombak tenang menyapa kakinya. Dihirupnya udara senja di pantai hari ini, memberikan senyuman terlebar sebagai salam perpisahan pada Bali. Hatinya berdesir kala mengingat anak-anak yang sering ia ajarkan membaca di Tampaksiring, juga mengingat betapa ramahnya orang-orang serta alam Denpasar kepadanya.
"Hei Tiyas?" Sapaan itu cukup menyentak lamunan panjang Tiyas memperhatikan matahari yang siap untuk tenggelam di ujung barat.
Senyuman lebarnya tadi sontak saja hilang, jantungnya berdetak tak karuan, ada yang sakit di dalam dadanya seperti dihunus pisau tajam, napasnya memberat dan sedikit pandangannya mengabur karena air mata. Semuanya karena ia menangkap sosok yang selama ini membuatnya luka, sosok itu ada di hadapannya, menyapanya.
"Tiyas 'kan?" tanya orang itu.
Tiyas memundurkan kakinya. Mencari arah lain untuk berlari, walaupun kakinya terasa sangat berat. Tidak perduli dengan flatshoes nya yang ia tinggalkan di sana. Dia berlari sekuatnya walau dengan pandangan mata semakin mengabur. Air mata jatuh di pipinya.
Dia masuk ke dalam apartemennya, terduduk di ranjang yang dekat dengan jendelan kaca besar menghadap ke arah matahari tenggelam. Dia menangis sejadi-jadinya, bagaimanapun Tiyas ingin kejadian barusan hanyalah mimpi.
"Besok gue harus cepet-cepet balik," ujarnya diantara sesegukan yang masih mendera.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
Chick-LitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...