ii

68 4 0
                                    

Yogyakarta, Februari 2015

Apapun yang ada di Jogja akan mampu mengundang senyum dan tawa. Bahkan hanya karena Jogja diguyur hujan ringan seperti ini, Jogja tetap menjadi teman baik bagi dirinya. Meskipun dia harus duduk menunggu hujannya reda. Kafetaria bandara kali ini memang tidak teralu ramai, namun tidak juga bisa dikatakan sepi. Ada beberapa orang beberbaris mengantri pesanan dan ada beberapa orang duduk menikmati kopi panas di hari dingin seperti ini.

Ponsel yang ada di atas meja tempat Tiyas duduk mengalihkan perhatian gadis itu. Di layar ponsel itu tertera nama "Mas Ben" dengan tanda hati berwarna merah di belakangnya. Tiyas tersenyum dan mengambil ponselnya.

"Ya Mas?" ujarnya ketika telepon sudah terhubung dengan si pemanggil.

"Udah. Lagi nunggu hujannya reda, nanti kalau Tiyas sudah sampai, Tiyas bakal kasih tahu Mas Ben," ujarnya lagi.

"Oke, see you."

Tiyas meletakkan ponselnya lagi. Masih menjaga senyuman tercetak di wajahnya, mungkin karena si penelpon tadi. Mas Beni atau sering Tiyas panggil Mas Ben. Orang pertama yang menjadi teman bagi Tiyas di Jogja. Orang pertama yang berani mengajak Tiyas makan malam bersama setelah 7 hari kenal. Mas Ben bagi Tiyas adalah paduan yang lengkap dan serasi dengn Kota istimewa ini. Mas Ben dan Jogja adalah paduan yang alam ciptakan untuk mengobati luka yang bersarang di hati Tiyas ketika lulus sekolah di Bandung. Bagi Tiyas, Mas Ben dan Jogja adalah dua hal yang memang sengaja membentuk kerja sama untuk membuat Tiyas melupakan lukanya secara perlahan.

Mas Ben dan Jogja mampu membuat Tiyas lupa seperti apa rasanya patah hati karena ditolak cinta.

*

Tiyas menyendok potongan daging steak yang dibalur saus keju pedas dengan lahap. Malam ini benar-benar menjadi pelampiasan bagi Tiyas untuk menggagalkan rencana dietnya yang dia bangun sejak tiga bulan tinggal di Bali. Malam ini Beni mengajaknya keluar, makan di salah satu resto ternama di Jogja. Mereka menamakan malam ini sebagai perayaan melepas rindu dan menyambut rindu selanjutnya yang akan datang.

"Mas, tahu enggak di Bali kemarin aku ketemu siapa?" tanya Tiyas pada Beni kala mereka berdua sama-sama menyelesaikan makanan masing-masing.

"Siapa?"

"Aku... ketemu dia, Mas. Dia ada di Bali," jawab Tiyas dengan menyatukan kedua telapak tangannya.

Beni tampak mengerutkan dahinya. Bingung dengan sebutan dia yang dimaksud Tiyas di sini siapa? Mengapa ketika Tiyas mengatakan tentang dia, wajah perempuan itu pucat pasi dengan aura kesedihan terlihat jelas padanya?

"Siapa Yas?" tanya Beni khawatir melihat wajah sendu Tiyas.

"Orang yang membuat aku bisa berada di kota ini, Mas." Tiyas menarik napasnya dalam-dalam, mengingat orang itu memang membutuhkan persiapan perasaan yang kuat. 

"Rio? Dia ada di Bali?" tanya Beni ketika pikirannya terhubung dengan cerita Tiyas.

Tiyas mengangguk pelan.

"Ngapain dia di sana? Kamu ketemu dia? Terus dia bilang apa?"

"Enggak banyak. Dia cuma nyapa aku, terus karena aku terlalu kaget, aku langsung kabur," ujar Tiyas sambil terkekeh kecil mengingat seperti apa dia kabur dari hadapan lelaki yang menyapanya di pantai kemarin. "Bahkan, aku sampai ninggalin sandal aku di pantai," lanjutnya.

"Are you okay, Yas?" tanya Beni.

"Aku okay kok, Mas Ben. Aku gak kenapa-kenapa." Tiyas menyunggingkan senyumnya. Namun senyuman itu Beni tangkap sebagai senyuman paksaan. Beni yakin, perempuan yang dia kagumi ini masih terluka. Tentu saja.

H A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang