xiii

76 2 0
                                    

Malam itu hari ke 14 setelah Rio ditinggal pergi oleh perempuan itu. Setiap malam, setiap kembali dari dinasnya, setiap akan terlelap ia selalu mencoba menghubungi Tiyas. Menelpon, mengirimkan pesan-pesan singkat, namun semua diabaikan perempuan itu. Kehampaan luar biasa menyergapi hati Rio, benar-benar di luar logikanya sendiri. Dia tidak menyangka kehilangan Tiyas untuk kedua kalinya ini malah berimbas sangat besar. Senyuman angkuh terkesan menawan milik Tiyas kerap kali teringat olehnya. Semua makian perempuan itu pun sering membuatnya merasa kehilangan pula.

Seperti malam ini, ia kembali menimang-nimang handphone nya seraya sesekali melihat aplikasi pesan singkat dari gawai itu. Dua buah tanda centang itu berubah warna menjadi biru, sekali lagi Rio menghela napasnya. Pesan yang sudah dua minggu diabaikan akhirnya dibaca juga. Namun setelah lewat dari 5 menit menunggu, Tiyas sama sekali tidak membalas, bahkan mengetik pesan pun saja tidak.

Sekali lagi, Rio menyentuh layar handphone nya pada bagian dial. Mencoba kembali menghubungi wanita itu. Jantungnya bergemuruh. Sumpah demi apapun, Rio tidak pernah begini. Tidak pernah merasa serba salah, jantungnya seperti akan merosot ke dalam lambung. Bahkan 3 tahun mengagumi perempuan itu selama sekolah, ia tidak pernah merasa se-lebay ini. Tidak pernah.

Mungkin kali ini berbeda. Bedanya, dia sudah menyatakan perasaan pada Tiyas. Dia pun cukup pintar untuk menangkap tanda bahwa Tiyas memiliki perasaan yang sama dengannya. Rio mengetahui, bahwa mereka sama-sama saling menginginkan secara utuh. Kemudian dengan ketololannya, dia harus kehilang Tiyas. Lagi. Lebih parah lukanya.

Enam kali.

Untuk kali ke-enam ia mencoba menelpon Tiyas. Hasilnya mungkin akan sama saja, Rio tahu perihal itu. Namun entah apa yang membuat Rio tidak pernah lelah mencoba terus dan lagi. Diajarkan dari Sekolah Polisi Negara, jangan pernah menyerah seperti apapun keadaannya.

Nada sambung terhenti. Rio sama sekali tidak menekan tombol akhir panggilan.

"Yas? Tiyas ini kamu?"

*

Langit malam kali ini di Jogja sedang mendung. Tiyas duduk bersama Gracia di meja bundar yang dua minggu lalu disulap menjadi meja makan. Duduk hanya berdua di teras, Beni tidak pernah datang. Dua minggu lalu, saat makan malam 'jadi-jadian' itu adalah terakhir kali Tiyas bertemu dengan Beni.

"Mbak Tiyas, itu handphone nya bunyi mulu," ujar Gracia.

"Bodo amat,'' kata Tiyas seraya lanjut memperhatikan layar laptopnya yang sedang menayangkan film horror kesukaannya.

"Ih sudah dua minggu gini, Mbak. Kenapa enggak diladeni aja sih? Bicara baik-baik, jangan didiemin gitu. Kasihan juga." Gracia dengan mulutnya yang enggan berhenti mengomeli Tiyas akhirnya melirik ke benda pesergi panjang yang tipis itu.

"Emangnya, Pak Polisi itu enggak ganteng ya, Mbak?"

Tiyas menoleh dengan cepat ke arah Garcia yang sedang melirik-lirik ke handphone nya. Lagian, pertanyaan macam apa sih itu? Tapi ingin rasanya Tiyas menjawab dengan lantang, "IYAAA! Sumpah, Pak Polisi satu ini ganteng, parah!" Tapi rasanya, Tiyas cukup warasa untuk tidak menjawab hal itu. Akhirnya Tiyas kembali menatap layar laptopnya, lanjut kembali menonton film horror.

"Kamu marah?"

"Terus ini nih, Mbak. Ehem... Tiyas aku mohon jangan giniin aku."

"Tiyas tolong jawab pesan aku. Atau angkat telepon aku."

Tiyas segera menoleh ke arah Gracia. Perempuan satu itu sedang seksama membaca sesuatu dari handphone Tiyas. Mata Tiyas membulat lebar. "Kamu buka chat nya!!!"

Gracia hanya menyengir tidak jelas sambil terus membaca pesan-pesan yang Rio kirim untuk Tiyas.

"Grace! Ihhh, nyebelin! Grace sini balikin handphone aku,'' kata Tiyas seraya menggapai-gapai tangan Gracia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

H A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang