xii

57 4 4
                                    

Beni menyambut kedatangan Tiyas dengan wajah berseri-seri. Lelaki itu langsung berdiri ketika melihat Tiyas berjalan dengan menyeret kopernya. Senyuman terkembang yang Beni hadirkan saat itu, seketika menghangatkan hati Tiyas. Awalnya wajah itu ia tekuk sedikit dengan pikiran kalut membayangkan kali ini dia harus benar-benar melupakan cinta pertamanya itu, namun ketika melihat wajah teduh Beni dengan senyuman secerah itu malah mampu mengusir sedikit mendungnya.

Namun, Tiyas yakin dirinya akan kalah telak nanti. Tiyas yakin ia akan menangis, ia yakin tangisnya akan tumpah ruah nantinya. Karena seperti apapun kalau sudah di hadapan Beni, Tiyas seperti tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Beni selalu mampun membuat Tiyas buka suara tanpa harus diminta oleh lelaki itu.

"Hai Mas Ben," ujarnya seraya menghambur ke dalam pelukan Beni.

Lelaki itu mengusap kepala Tiyas dengan lembut sedikit demi sedikit beban itu terasa melayang begitu saja. Satu tetes air mata akhirnya lolos begitu saja, tak memakan waktu lama isakan mulai terdengar dari mulut Tiyas, pundaknya naik-turun. Dengan itu, Beni menyadari ada luka lama yang terkoyak lagi dari diri perempuan yang ia cintai ini. Beni sedikit mengeratkan pelukannya seraya kembali mengusap puncak kepala Tiyas.

"Kamu aman denganku," bisik Beni mencoba mencari celah untuk bisa merasakan luka itu.

*

Dua lelaki itu masih saja berdiam diri tanpa ada yang memulai percakapan. Wajah mereka sama-sama tegang. Adu mulut di bandara tadi cukup membuat keduanya saling perang dingin saat ini.

Sang Kakak memberhentikan mobil di halaman rumah. Turun tanpa mengatakan apa-apa pada sang Adik yang masih termangu sendiri di dalam mobil itu.

"Mau bunuh diri?'' tanya Rian pada adiknya yang masih tak bergerak di dalam mobilnya.

Rio menghela napasnya berat. Kemudian membuka mobil dan turun dengan enggan menatap sang kakak. Berjalan ke dalam rumah masih dengan wajah dinginnya, penampilannya berantakan sekali. Rambutnya acak-acakan, kemeja lengan panjang yang ia kenakan itu kusut, keadaannya benar-benar kacau saat ini.

"Lucu lo, Yo. Kenapa jadi gue yang salah sih?'' seru Rian tak tahan dengan aksi diam adiknya.

Rio menghentikan langkahnya di ambang pintu. Menoleh ke belakang melihat Rian masih setia berdiri di samping mobil. "Iya! Iya gue tahu, gue salah! Gue yang salah!" bentak Rio dengan amarah yang masih menggebu-gebu.

Rian hanya diam. Dia tahu Rio tak hanya kesal pada Rian, namun adiknya itu juga marah terhadapa dirinya sendiri.

"Lo bego! Benar-benar bego! Bisa-bisanya lo bilang ke Tiyas, kalau lo lagi nungguin Anita di rumah sakit." Sontak saja ucapan Rian itu membuat wajah Rio terangkat.

"Gue enggak bilang apa-apa ke Tiyas," ujar Rio. Keduanya sama-sama mengerutkan dahi, menatap heran satu sama lain.

"Tiyas bilang ke apa lo?" tanya Rio kembali mendekat pada Rian.

"Dia bilang, Anita lebih butuh lo. Yaa...makanya gue ngambil kesimpulan kalau Tiyas tahu lo selama seminggu nungguin Nita di rumah sakit."

"Gue sama sekali enggak bilang apa-apa. Bahkan... ya gue tahu gue salah. Gue bahkan enggak ngehubungin dia," ujar Rio.

"Mungkin enggak sih, Nita yang buat semuanya kacau?" Rian menyipitkan matanya, sementara Rio justru menghirup napas dalam-dalam pikirannya terlalu pusing untuk mendebatkan soal ini lagi, yang pasti dia tahu ; dia kehilangan Tiyas untuk kedua kalinya.

*

Gracia menghidangkan tiga porsi mie instan kuah di atas meja bundar yang berada di teras kos-kosan itu. Meja bundar yang biasanya ia gunakan untuk belajar di dampingi Tiyas, kini simsalabim berubah menjadi meja makan dadakan.

H A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang