Wajah Anita yang semulanya tenang dan matanya perlahan terkatup berubah menjadi kaget, matanya yang sayu akibat mengantuk langsung saja terbelalak saat mendengar namanya disebut perempuan itu, tentunya kaget dengan kehadiran Tiyas.
"Tiyas?" ujar Anita menatap perempuan yang berdiri kikuk di ambang pintu kamar inapnya.
"Hai, kamu... kenapa?" tanya Tiyas mendekat pada brankar Anita.
"Aku... tabrakan," jawab Anita.
"Tabrakan? Kapan?"
"Iya, kemarin pas malam aku ketemu sama kamu." Anita menatap Tiyas tepat di manik mata perempuan itu. Tatapan yang entah apa artinya, namun Tiyas merasa tatapan itu sedikit menghunus sesuatu di dalam pikirannya.
"Oh... kenapa? Kok bisa kamu tabrakan? Maksud aku..."
"Iya. Aku tabrakan karena lagi mendam emosi. Tiyas maaf, aku... mungkin seperti buat kamu enggak enak. Mungkin... tapi kamu harus tahu," jelas Anita terbata-bata pada Tiyas, wajah Anita pun sedikit menampilkan ekspresi yang membuat Tiyas... sedih mungkin?
"Ada apa, Nit?" tanya Tiyas mencoba semakin mendekat pada Anita.
"Yas, aku tabrakan karena aku enggak bisa menerima hubungan kamu sama Rio," aku Anita dengan air mata mengalir di pipi.
"Aku enggak bisa terima karena aku cinta sama Rio. Sudah lama, Yas. Aku enggak bisa pergi dari kehidupan dia. Memang aku sama dia sudah putus, tapi aku masih menjaga komunikasi kami kok. Kami masih sering bertemu. Aku pikir, setelah kami putus, dia ingin menyiapkan semuanya dan dia akan meminang aku. Tapi ternyata enggak..." Anita menarik napasnya dalam-dalam, air mata sudah membajiri kedua pipinya yang dipenuhi plester luka dan perban.
Tiyas merasa kasihan dan dengan segala kerendahan hati, ia menggenggam tangan Anita, berbicara dengan isyarat lewat genggaman itu. Berharap Anita segera menghentikan tangisannya.
"Aku cinta sama Rio, Yas. Cinta sekali. Dia segalanya bagi aku, aku sudah beri segalanya untuk dia. Segalanya, Yas. Aku sudah... beri semua yang aku punya di diri aku ke Rio, dan... tentunya aku gila saat tahu dia memilih perempuan lain, sedangkan aku yang sudah..." Anita menangis semakin menjadi-jadi.
Sedangkan Tiyas tidak tahu harus berkata apa. Penjelasan Anita cukup menegaskan seperti apa hubungan perempuan itu dengan Rio selama ini. Tiyas cukup mengerti tanpa harus Anita mengungkap apa yang sebenarnya maksud dari "segalanya" itu. Tiyas cukup tahu apa maknanya. Ada rasa tidak menyangka, namun Anita berbicara dengan tangisnya seperti itu membuat Tiyas percaya.
"Sesuatu yang berharga yang aku punya, aku beri ke dia. Tapi... dia memilih kamu,'' lanjut Anita dengan tetap menangis.
Tiyas duduk di kursi di samping brankar yang Anita tempati. Kedua tangannya menggenggam sebelah tangan Anita yang terpasang infus. Jujur saja, Tiyas kini ikut menangis juga, sebisa mungkin menahan agar tangis itu tidak meledak seperti tangis Anita.
"Kamu tenang aja. Aku sama Rio enggak jadi nikah. Aku... sama Rio dijodohin... Aku sama dia enggak saling cinta. Kamu bisa memperjuangkan dia kembali,'' ujar Tiyas dengan sesegukan air matanya.
Anita menatap Tiyas masih dengan air mata mengalir di pipinya. "Kamu... yakin? Kamu yakin enggak mau nikah sama Rio?"
"Iya. Aku masih sibuk sama kuliahku di Jogja. Lagian... aku enggak cinta sama Rio," ucap Tiyas, sejujurnya sangat berat. Kepalanya sedikit berat dan rasanya Tiyas tidak sanggup lagi lebih lama berada di sini.
"Aku... pulang ya, Nit. Kamu cepat sembuh," ujarnya lagi sambil meninggalkan Anita.
Selepas menjauh dari ruangan itu, Tiyas mendapati posisinya di sebuah jendela kaca yang tinggi menghadap ke jalan besar. Memperlihatkan sebagian kecil kota Bandung dari atas. Tiyas terdiam menatap lalu-lalang kendaraan yang kecil-kecil di bawah sana. Pikirannya kini menggantung jauh, tatapannya sedikit mengabur karena air mata perlahan-lahan jatuh bergantian. Dadanya terasa sangat sesak, mungkin karena ingin berteriak, ingin meluapkan semua rasa sakitnya.
Tiyas harusnya belajar dari masalalu, ia tak mestinya membuka hati untuk Rio. Kini apa yang ia dapat? Omong kosong Rio yang selalu berhasil membuat Tiyas terbang lalu jatuh terhempas dengan cepatnya. Ini sakit bukan main rasanya.
"Tiyas kamana wae? Mama cariin." Suara Gina mengagetkan Tiyas yang masih dengan linangan air mata di pipi.
"Tiyas kenapa? Tiyas sayang? Kunaon kamu?" ucap Gina saat Tiyas menghadapkan wajahnya. Keadaan anaknya begitu mengiris hati, benar-benar mengiris perasaan Gina saat ini. Gina mendekati jaraknya pada Tiyas, melebarkan tangannya segera memeluk Tiyas.
Gadis itu menangis terisak-isak di pelukan Mamanya. Memeluk erat tubuh Mamanya, mencoba melepas semua beban yang ia rasakan.
"Tiyas kenapa sayang?" ujar Gina.
"Ma, Tiyas besok harus balik ke Jogja." Tiyas enggan menjawab pertanyaan Mamanya, tidak mau membeberkan rasa kesakitan hatinya.
"Tiyas mau balik ke Jogja," ujar Tiyas sekali lagi dengan isak yang masih belum reda.
*
Gina tidak lagi bisa menahan anaknya untuk tinggal lebih lama. Dia hanya menatap sendu pada Tiyas yang kini sibuk menggeret kopernya keluar kamar. Begitu besar keinginan Tiyas untuk kembali ke Jogja sana, entah apa yang membuat anaknya seperti itu. Gina tidak tahu pasti apa penyebabnya, air mata Tiyas yang berlinang saat di rumah sakit kemarin, dan wajah sendu Tiyas membuat Gina yakin ada yang menganggu hati putrinya itu.
"Teu pamitan sama Tante Yuni, Yas?" tanya Gina saat Tiyas memasang sepatu kets nya.
"Udah, kemarin Tante Yuni nelpon."
"Terus, kamana tea? Masih lama atuh, udah siap-siap aja, pasang sepatu gitu," ujar Mamanya saat melihat Tiyas berdiri bersiap keluar rumah.
"Beli Es krim," jawab Tiyas berlalu. Ia keluar dari rumah, entah mau kemana.
Sebenarnya Tiyas belum rela hari-harinya di Bandung berakhir sesegera ini. Dia masih ingin berkeliling Bandung, pergi jalan-jalan ke tempat-tempar wisata bersama Mama dan Papanya. Dia masih ingin wisata kuliner, sendirian. Tapi kalau ia tetap di Bandung, luka itu akan semakin mengganas di dalam hatinya. Sakit itu pasti akan terus mendera. Setiap kenyataan membuatnya terjatuh lebih dalam. Luka dan sakit itu harus ia obati.
"Take off jam berapa?'' Suara seseorang mengganggu renungan Tiyas yang kini diam berdiri di bawah pohon depan rumahnya.
"Eh, Bang Rian?'' Tiyas menenukan sosok tinggi tegap menggunakan pakaian dinas dokter di hadapannya dengan name tag Andrian Prakasa, dokter muda.
"Cepet banget ke Jogjanya. Lo enggak kangen apa sama rumah lo, orangtua lo?" tanya Rian.
"Gue mau cepet lulus. Masih banyak mimpi-mimpi gue yang belum terwujud," jawab Tiyas tenang.
"Ya gue tau itu. Lo ambisius banget, mirip banget sama Rio."
Justru ucapan Rian kali ini seperti menghunuskan pisau tajam ke dada Tiyas secara tiba-tiba. Tiyas bahkan tidak bisa menggubris apa yang Rian ucapkan. Perempuan itu hanya termangu menatap jalanan komplek yang sepi. Langit mendung kali ini menawarkan udara yang cukup dingin, membuat Tiyas sesekali merapatkan cardigan tipisnya.
"Rio bakal dateng. Tunggu dia sebentar aja," ucap Rian lagi.
Tiyas menghirup udara panjang-panjang lalu melepasnya dengan gusar. Menahan agar air mata itu tidak tumpah ruah di hadapan Rian, berusaha terlihat baik-baik saja.
"Rio cuma ada urusan sebentar Yas," ucap Rian sekali lagi.
"Anita lebih butuh dia, Bang."
Rian terdiam seusai Tiyas mengatakan hal itu. Rian benar-benar kaget saat Tiyas berkata seperti itu. Apa adiknya yang blo'on itu sudah mengatakan hal yang sebenarnya pada Tiyas? Kalau iya, Rian akui : Rio itu bodoh!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
ChickLitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...