Sudah pukul 8 malam, tapi Rio enggan bergerak dari tempat duduknya. Memperhatikan Tiyas yang sibuk tertawa dengan telepon menempel di kuping gadis itu. Sekali lagi Rio melihat jam tangannya, sudah 30 menit sejak mereka sampai di rumah sejak itu pula Tiyas sibuk berbicara via ponsel.
Menyebalkan.
"Iya, Tiyas abis kulineran jajanan jaman sekolah dulu... Iya, soalnya kangen Bandung juga 'kan... Mas gimana? Ngapain aja hari ini?... Haha, beneran ngajak Mas makan? Terus Mas Beni mau?... Ya apa salahnya sih, Mas. Coba aja dulu... Eh Mas Beni tahu enggak, minggu depan aku mau nonton Theroses di sini... Iya, baru tadi Tiyas dapet info di salah satu kios jajanan..."
Benar-benar menyebalkan! Theroses. Salah satu band indie yang ada di Bandung. Salah satu band yang sama-sama disukai oleh Tiyas dan Rio. Tapi kenapa Tiyas sibuk saja membagikan cerita Theroses pada Si Mas Ben Mas Ben itu? Tadi 'kan Tiyas dengan antusiasnya yang menggebu-gebu bercerita pada Rio.
Hal yang harusnya tidak perlu Rio pikirkan menjadi sangat menyita pikirannya saat ini. Sedikit berlebihan memang, namun Rio memang harus berlebihan seperti ini. Dia tidak lagi ingin kehilangan Tiyas.
"Iya Mas... Mas juga banyak istirahat, katanya mau lanjutin program magister ke luar negeri... Iya, insyaa allah aku bakalan selesai tahun ini... Ya udah, selamat istirahat Mas Ben, aku kangen hehe..."
Rio semakin memberengutkan wajahnya semakin dalam. Matanya semakin sinis melihat Tiyas yang tersenyum-senyum menutup pembicaraan lewat handphone itu.
"Eh, lo belum pulang?" tanya Tiyas santai.
"Siapa yang nelpon?" ujar Rio ketus.
"Temen di Jogja," jawab Tiyas tenang.
"Pokoknya, minggu depan lo harus sama gue nonton Theroses nya."
Tiyas mendengar ucapan Rio langsung mengerutkan dahinya samar. "Katanya lo ada kumpul bareng temen-temen lo di SPN," ujar Tiyas.
"Enggak jadi. Pokoknya lo pergi sama gue minggu depan. Biar gue traktir tiketnya," kata Rio dengan wajah serius. Benar-benar dengan wajah dan intonasi suara yang serius. Bahkan saking seriusnya, Tiyas jadi terdiam, karena sangat jarang melihat Rio seserius ini.
"Iya enggak?" tanya Rio masih dengan wajah seriusnya.
"I...iya. Iya nanti... minggu depan gue pergi bareng lo." Bagi Tiyas sendiri saat ini ia tak mampu mengelak. Melihat wajah serius Rio, menatap mata sipit lelaki itu yang tajam, dan mendengar suaranya yang berat seserius itu seolah membius dirinya.
*
Pagi itu Tiyas enggan ingin berkegiatan apapun, dia hanya berbaring di karpet beludru di depan televisi, menonton acara infotaiment yang menyajikan berita selebriti-selebriti pencari sensasi. Deringan nada panggilan dari ponselnya kembali berbunyi, membuat Tiyas jengah lalu berdiri mengambil ponselnya yang terletak di atas meja kecil sedikit jauh dari televisi.
"Hm?" jawab Tiyas dengan malas setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Astaughfirullah, kalau angkat telpon itu mesti bilang Assalamualaikum...'' ucap seseorang di seberang telepon.
"Waalaikumsalam..." ujar Tiyas masih dengan nada malasnya.
"Kamana wae? Dari tadi ditelpon, teu diangkat-angkat."
"Sibuk.''
"Sibuk naon ieu? Sok sibuk iya."
"Eh gelo! Pagi-pagi kunaon ganggu urang? Teu ada kerjaan nya?" balas Tiyas pada si penelpon.
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
ChickLitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...