Tiyas masih saja diam menatap langit malam. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, malam ini pun tidak hujan ataupun badai. Namun yang terjadi beberapa menit yang lalu di ruang makan membuat Tiyas kehilangan akal. Bahkan untuk 30 menit berlalu, Tiyas masih diam tidak berkutik, dahinya masih saja berkerut dengan mulut yang kadang terbuka kadang tertutup. Ingin rasanya ia memaki, tapi tidak tahu ingin memaki siapa.
Tangannya memegang erat tiang besi penyangga bunga-bunga taman yang menjalar ke atas. Beberapa kali juga ia mendecak tak karuan. Beberapa kali juga dia menarik napas lalu membuangnya dengan kasar.
"Sepanik itu?" Sebuah suara datang dari belakang. Tiyas menoleh cepat ke sumber suara.
Lelaki sipit berseragam polisi itu berdiri melipat kedua tangannya di depan dada, melangkah angkuh menghampiri Tiyas dengan wajah santai, hal yang membuat Tiyas tidak habis pikir.
"Jangan segitu paniknya, entar orang tua kita tersinggung," ujar lelaki itu.
Tiyas masih saja bungkam. Dia tidak sanggup berbicara, ini kenapa lagi lelaki menyebalkan ini menghampirinya.
"Relax, Yas." Sekali lagi lelaki itu membuka suara, sedangkan Tiyas masih saja diam.
"Gila." Ucapan tandas yang pertama kali keluar dari mulut Tiyas barusan mampu mengubah ekspresi santai Rio menjadi lebur. Lelaki itu terdiam dengan mulut menganga kecil.
"Lo tau, lo nyuruh gue santai itu gila, tau enggak?! Gimana gue bisa santai, di saat gue tahu gue dijodohin dan dijodohinnya sama cowok tengil kayak lo!" ucap Tiyas memberengut kesal seraya menunjuk-nunjuk wajah Rio.
Rio menelan ludahnya dengan kasar, perempuan ini masih saja tidak berubah dari masa sekolah beberapa tahun silam. Enam tahun merupakan waktu yang cukup lama, setidaknya untuk mengubah karakter seseorang, tapi Tiyas? Perempuan bakal calon Ibu Dosen itu masih saja galak, jutek, cerewet dan bawel seperti masa SMA dulu. Mengingat masa SMA, Rio jadi ingat semua kegaduhan dan keributan yang sering mereka lakukan. Cewek bar-bar sering ia sematkan jika memanggil Tiyas saat itu.
"Ngapain lo senyum-senyum?! Suka ya lo, kalo kita dijodohin?!!" ucap Tiyas galak sambil menepuk keras lengan lelaki yang berdiri di depannya itu.
Rio meringis pelan akibat tepukan dari Tiyas yang lumayan keras. Perempuan ini, hanya penampilannya saja yang semakin dewasa dan tampak keibuan--layaknya seorang Ibu Guru-- namun sikapnya masih tetap sama dengan Tiyas yang dulu.
"Yas, santai dulu... enggak usah nge-gas gini. Masalah itu, enggak usah dipikirin dulu. Itu 'kan rencana mereka, yang berkehendak tetap Allah," jelas Rio.
Tiyas menyipitkan matanya menatap wajah Rio yang berubah serius. "Sejak kapan seorang Andrio Prakasa jadi sok bijak gini, hah? Jangan sok nasehatin gue deh, ya. Pokoknya gue enggak mau tahu, gue enggak mau perjodohan ini sampai terjadi! Please deh, lo bayangin! Ini sudah tahun berapa? Bukan lagi era 80-an. Bukan lagi era jodoh dipilihin orang tua. Gue enggak setuju! Pokok enggak setuju!"
Tiyas masih tidak habis pikir dengan yang terjadi di ruang makan tadi. Di saat Tiyas sibuk memakan buah pencuci mulut selesai makan, Mamanya angkat bicara mengenai segala hal tentang perjodohannya dengan Rio. Papanya pun ikut setuju dengan hal itu. Tante Yuni dan Om Pras pun sama.
"Ini teh sudah menjadi rencana kami sejak kalian masih kecil dulu. Mama teh kalau ngelihat Tiyas sama Rio meuni lucu pisan maneh berdua mah. Dulu kalo Tiyas main sama babaturan yang lain, Rio teh suka nangis... karunya teuing mah. Kalian teh sudah klop pisan dari jaman ingusan."
"Klop naon etah?!" ucap Tiyas ketika mengingat semua ucapan Mamanya di meja makan tadi. Menyebalkan. Memang benar, Mamanya itu memang selalu suka berlebihan.
"Udahlah, Yas. Jangan dipikirin. Kita baruuuuu aja ketemu setelah beberapa tahun. Lo marah-marah mulu," ujar Rio masih mencoba menenangkan Tiyas.
"Lo apa kabar?" lanjut Rio saat melihat Tiyas sudah tenang.
"Baik."
"Enam tahun. Lo kemana aja?"
"Di Jogja aja, enggak kemana-mana," jawab Tiyas. Walaupun emosinya sudah tenang, tapi raut wajah juteknya masih terlihat jelas.
Rio mendengus pelan, "iya gue tahu lo di Jogja. Tapi maksud gue, enam tahun tanpa pernah pulang ke Bandung, itu kenapa?"
Pikiran Tiyas kembali kacau. Dia berdoa semoga topeng wajah jutek yang ia pakai bertahan, semoga pertahanannya kali ini tidak luluh dengan adanya sosok Rio di hadapannya. Tiyas merasa napasnya berat untuk sekedar menjawab pertanyaan Rio yang satu itu.
"Yas?" tegur Rio saat melihat Tiyas tidak menjawab pertanyaannya.
"Huh? Apa? Lo nanya apa?"
"Enam tahun lo ngilang, kenapa?'' Rio mengulang pertanyaannya.
"Kenapa? Emangnya gue harus ada alasan untuk enggak pulang?"
"Sorry, yang gue maksud, kenapa lo ngilang?" ujar Rio lagi.
Rasanya Tiyas tidak sanggup membalas tatapan mata Rio. Dia tidak sanggup jika Rio justru memporak porandakan semua benteng pertahanan yang dia buat susah-susah.
"Gue selalu cari lo ke rumah. Setiap ada liburan kuliah, gue pasti ke rumah lo. Untuk cari keberadaan lo," ucap Rio.
"Buat apa sih lo nyari gue? Gue punya utang sama lo?!" tanya Tiyas galak.
"Iya. Lo punya utang sama gue. Setelah lo nyatain perasaan lo di malam perpisahan, lo ngilang gitu aja. Enggak pernah lagi muncul di hadapan gue. Segitu pengecutnya lo?" ujar Rio, dirinya terpancing emosi karena Tiyas tampak selalu menghindari pertanyaannya.
Hampir. Hampir saja air matanya jatuh kalau saja Tiyas tidak cepat-cepat mengingat perjuangannya selama enam tahun belakangan ini seperti apa. Dia menarik napas, "buat apa lo ngingat hal kayak gitu? Hal enggak penting. Ucapan ngawur gue. Ucapan bocah ingusan. Bahkan sebelum ini, gue udah lupa sama hal itu. So, anggap aja apa yang gue ucapin di malam itu, semua bercandaan."
"Enggak ada candaan kalau menyangkut perasaan," kata Rio tegas.
"Terserah. Yang penting, kalo lo ngira gue enggak pernah pulang ke Bandung selama enam tahun cuma karena hal itu, lo salah. Salah besar. Gue bukan pengecut yang suka lari dari masalah," jelas Tiyas sambil beranjak pergi meninggalkan Rio.
Di belakang Rio, akhirnya air mata itu runtuh semua. Semuanya melimpah ruah di pipinya. Malam ini semuanya terasa sia-sia, perjuangannya melupakan luka yang Rio buat beberapa tahun lalu masih saja sakit, masih saja berdarah, terlebih lelaki itu malah mengungkit hal yang membuat luka itu semakin infeksi. Kalau istilah dalam lagunya; sudah tahu luka di dalam dadaku sengaja kau siram dengan air garam.
Tapi ada dua hal yang menampar Tiyas secara nyata ; dirinya munafik dan juga pengecut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
ChickLitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...