x

61 3 0
                                    

Ini sudah masuk hari ke lima sejak malam romantis yang berubah menjadi balada bertemu mantan waktu konser mini Theroses di salah satu hotel berbintang Kota Bandung. Itu artinya sudah lima hari pula, Tiyas mengintip dari tirai jendela ke seberang jalan sana, ke rumah di depan rumahnya itu. Sudah lima hari pula Tiyas seperti orang gila, menanti kabar dari seseorang yang menghilang begitu saja malam itu.

"Sudah Mama bilang, Tiyas teh tetap aja gengsi,'' ujar Gina masuk ke kamar putrinya sembari meletakkan bubur kacang hijau di atas meja kecil yang ada di dekat bantal bola raksasa milik Tiyas.

"Nyebelin tahu, Ma." Tiyas tetap fokus menyelinapkan pandangannya diantara tirai kain berwarna biru muda itu, melihat lurus ke jendela tingkat dua rumah yang ada di seberang sana.

"Nyebelin naon? Tiyas juga nyebelin. Rindu malah gengsi, enggak usah ribet atuh neng, tinggal samperin ke rumahnya. Ngomong baik-baik. Enggak usah ngambek-ngambek tea," ujar Gina lagi.

"Mama tuh enggak tahu gimana nyebelinnya Rio. Bisa-bisanya dia cuma diem waktu pipinya dicium perempuan jelek itu! Wajar dong Tiyas ngambek? Tiyas diemin malah dibalas diem juga. Rio tuh enggak pernah berubah, Ma. Tetap aja nyebelin dari dulu," jelas Tiyas berapi-api menghadap Gina.

Gina tersenyum melihat anaknya yang terbakar api cemburu. "Tiyas cemburu, berarti Tiyas teh bakalan mau dijodohin 'kan sama Rio?"

"Mama apaansih? Tiyas tuh lagi kesel sama Rio. Mama malah bicara soal jodoh, Tiyas enggak mau dijodohin sama cowok enggak peka kayak Rio, cowok yang nyebelin kayak Rio, Tiyas enggak suka Rio!" jelas Tiyas malah berapi-api sendiri sembari meremas boneka Jerapah yang sedang ia pegang sedari tadi.

Sejak lima hari belakangan, Tiyas senang sekali memeluk boneka Jerapah itu. Boneka yang pernah Rio berikan waktu SMA, di pasar malam. Rio memberikan boneka tersebut saat memenangkan permainan karet gelang dan memberikannya pada Tiyas dengan alasan boneka itu jelek dan Rio tidak suka.

"Idih, kamu jangan ngomong gitu atuh neng. Dulu nya, Mama persis kayak kamu, meuni gengsi pisan mau bilang rindu ka Papa kamu," ujar Gina lagi tak juga jera menggoda putrinya.

"Ih Mama apaan sih? Udah deh, Tiyas mau packing dulu." Tiyas bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari pakaiannya yang besar berada di sudut kamar.

"Heh barudak, kumaha atuh? Tiyas teh musti selesain dulu masalah tea sama Rio, baru Tiyas balik ke Jogja. Karunya atuh lihat si Rio entar."

"Ih, Mama teh kunaon? Karunya ka Rio? Ka eneng teh enggak? Tega pisan si Mama. Udah, Tiyas teh mau cepet balik ke Jogja, mau cepet selesain urusan Tiyas di sana," ujar Tiyas tanpa babibu lagi menyusun pakaian-pakaiannya ke dalam koper berukuran sedang. Sedangkan Gina akhirnya hanya diam dan menggeleng kecil melihat aksi ngambek putrinya itu.

*

Di dalam sebuah gedung rumah sakit, seorang lelaki bermata sipit terkantuk-kantuk tetapi tetap menahan diri untuk tidak terlelap demi seorang wanita yang sedang terlelap nyenyak di brankar rumah sakit itu.

Sekali lagi, ia menguap kemudian menatap jam dinding berdetak tepat pukul 1 malam. Ia, lelaki itu mengusap wajahnya lagi. Dipandanginya wajah pucat perempuan yang tengah terbaring di hadapannya itu kemudian menghirup napas dalam-dalam seraya memejamkan mata.

Selanjutnya ponselnya berbunyi nyaring pertanda ada panggilan masuk.

"Ya Bang?" jawabnya dengan sedikit menguap.

"Lo masih belum bisa beranjak dari rumah sakit itu?" tanya seseorang di seberang sana.

"Bang, dia sakit, gue gak bisa ninggalin dia gitu aja," balas lelaki itu.

H A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang