Salah satu harapan Tiyas bangun dari tidurnya pagi ini adalah semua yang terjadi malam tadi hanyalah mimpi atau delusi saja. Benar-benar dia tidak bisa berpikir jernih lagi. Tiyas sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan. Entah sedih, kesal, bahagia atau apa, Tiyas tidak tahu. Tentunya dia tidak terima dengan rencana dari orang tua nya dan orang tua Rio, tidak terima mungkin karena dia mengingat apa saja yang dia usahakan selama enam tahun belakangan ini untuk melupakan Rio, namun saat kembali ke Bandung semua terasa percuma dan sia-sia.
"Ini enggak bisa dibiarin. Apa dong hasil dari usaha gue ngelupain dia susah-susah selama enam tahun ini? Pulang-pulang malah dijodohin sama dia?" Bahkan rasanya kini Tiyas semakin tidak beres, malah berujar sendiri ketika matanya terbuka.
"Argggghh! Apaan sih gue? Gila ni? Beneran?" Dengan kesal Tiyas menutup wajahnya dengan bantal. Merasa gila dengan dirinya sendiri, merasa stress dengan perasaannya yang sama sekali tidak bisa dimengerti.
*
Seusai mandi, berpakaian serta sedikit berdandan Tiyas keluar dari kamar langsung menuju ruang makan. Mamanya masih berada di ruangan itu. Tiyas tersenyum melihat Mamanya sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk Tiyas.
"Mama..." seru Tiyas sambil tersenyum lalu duduk di sisi kanan Mamanya.
"Aduhh, si eneng pagi-pagi udah rapih gini. Mau kamana kamu?'' tanya Mamanya.
"Mau jalan. Udah kangen banget sama Bandung," jawab Tiyas sambil menyengir.
"Sama Rio ya?" Entah itu pertanyaan atau malah perintah. Nada suara Mamanya sedikit ambigu.
"Tiyas sendiri aja." Tiyas mencoba menganggap itu sebagai pertanyaan.
"Sama Rio."
"Ma... Tiyas mau jalan sendiri," ujar Tiyas memohon.
"Tiyas teh enggak mau? Enggak mau dijodohin sama Rio?"
Tiyas terdiam. Dia mencoba 'relax' seperti apa yang dianjurkan oleh Rio. Padahal pagi ini, Tiyas tidak ingin memikirkan hal itu sama sekali. Padahal pertama kali bangun tadi, Tiyas berharap semua yang terjadi tadi malam hanyalah delusinya saja. Namun Mamanya seolah ingin menegaskan bahwa apa yang telah ia rencanakan itu haruslah terjadi.
"Tiyas kunaon atuh enggak mau dijodohin sama Rio?" tanya Mamanya. Tiyas menunduk lemas. Semangat paginya dan rencana ingin melupakan segala hal yang terjadi tadi malam dengan berjalan-jalan mengelilingi kota Bandung, melakukan semua hal yang sudah lama ia tidak lakukan di Bandung sirna sudah.
"Mama mau Tiyas bahagia. Mama yakin, Rio adalah orang yang tepat, sayang."
"Ma... Ini sulit buat Tiyas terima. Lagian Mama tahu dari mana, kalau Rio adalah orang terbaik untuk Tiyas? Mama enggak lihat, dari dulu Tiyas sama Rio enggak pernah akur. Kita selalu saingan, kita saling menjatuhkan, kita enggak... enggak cocok, Ma."
"Mama cuma mau minta satu hal ini Tiyas. Selama ini, Mama enggak pernah nentang keinginan Tiyas. Bahkan Mama enggak pernah protes selama enam tahun Tiyas enggak pernah pulang ke Bandung. Sekali ini, Mama cuma mau Tiyas dapat yang terbaik, nak. Rio itu baik, dia yang nemenin Mama saat Tiyas enggak di rumah. Dia selalu nyari Tiyas. Mama yakin dia terbaik buat kamu," jelas Gina pada Tiyas.
Tiyas hanya diam setelahnya. Tidak tahu ingin menjawab apalagi. Dirinya sedikit ragu akan ungkapan dari Ibunya itu--soal Rio adalah yang terbaik untuknya-- entah harus percaya, entah harus mengaminkan, entah harus menolak, saat ini Tiyas serba salah jika ingin melangkah.
"Mama mau kamu buka hati. Sekali lagi," ujar Gina lagi sebelum wanita berdaster itu meninggalkan putrinya sendiri di ruang makan.
Sekali lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
ChickLitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...