vii

61 2 0
                                    

Malam itu setelah mampir sebentar di rumah Pamannya Rio, Pak Suroso-- juga salah satu guru di sekolah mereka dulu-- di jalan Buah Batu untuk mengantarkan titipan Ibunya. Mereka melanjutkan perjalanan menuju persimpangan jalan Lodaya, tempat Warung Bi Ijah berada.

Malam itu terasa berbeda dengan malam-malam yang lainnya. Bulan sabit menampakkan diri bersamaan dengan bintang-bintang yang berpendar. Motor sekuter yang dikendarai Rio melaju lurus di jalan Buah Batu, lalu berbelok ke jalan Telaga Bodas dan masuk ke jalan Lodaya.

Rio memarkirkan kendaraannya di sebuah kios berbentuk ruko dua tingkat, yang di depan kios itu ada baliho besar bertuliskan "Warung Pecel Lele Bi Ijah, sedap dan murah", mata Tiyas membulat sempurna setelah turun dari motor sekuter milik Rio.

"Warung Bi Ijah?" katanya seolah tidak percaya dengan yang dia lihat.

"Iya. Tahun 2010, Bi Ijah sempet pindah enggak tahu kemana. Terus pas ruko ini udah selesai dibangun, Bi Ijah buka kios di sini. Ya, mungkin karena rame kali ya, jadi Bi Ijah punya modal buat buka kios sebesar ini," jelas Rio.

"Aku enggak nyangka. Pas SMA cuma warung kecil yang ada di tepi jalan, sekarang jadi kios segede ini," ujar Tiyas takjub. Bola mata indahnya berbinar cerah, salah satu kesukaan Rio. Tak lupa dengan ucapan Tiyas yang sejak tadi siang berubah menggunakan "aku", itu juga salah satu kesukaan Rio.

"Yuk masuk. Kita lihat, apa Bi Ijah masih inget kamu atau enggak," kata Rio seraya menarik pergelangan tangan Tiyas dengan lembut.

Tiyas tidak bisa menahan senyumannya. Saat tangannya ditarik lembut oleh lelaki itu adalah kesukaannya, dan tak lupa dengan Rio yang memanggilnya dengan sebutan "kamu", membuat Tiyas terbang rasanya.

"Bi Ijah!" seru Rio kepada pemilik warung yang sedang duduk di meja kasir.

Wanita gempal paruh baya itu berdiri seraya merapikan kerudung di kepalanya. Tersenyum lebar membuat matanya mengecil diantara pipi gembulnya itu. Bi Ijah menghampiri Rio, untuk pelanggannya yang satu ini, Bi Ijah wajib turun tangan menyajikan makanan.

"Dek Rio? Haduh, sudah lama enggak ke sini. Kemana aja?" sapa Bi Ijah dengan ramah.

"Masih di Bumi kok, cuma lagi ada misi aja dari atasan, dikirim ke Bali kemarin."

"Haha, Dek Rio bisa aja. Mau makan di sini?"

"Iya, Bi. Buat saya yang biasa ya, nah satu lagi Ayam Penyet sambel ijo terasi bikinan Bi Ijah, masih ada 'kan?'' ujar Rio kepada wanita itu.

Lagi-lagi Tiyas dibuat tertegun dengan cara Rio yang masih saja mengingat apa yang selalu ia pesan di warung ini, lengkap dengan sambel ijo terasi bikinan Bi Ijah itu. Diam-diam Tiyas tersenyum di balik punggung Rio sedangkan pergelangan tangannya masih saja digenggam cowok itu.

"Lho? Tunggu, itu kayak pesenan siapa ya? Pelanggan..."

"Saya Bi," ujar Tiyas muncul dari balik punggung Rio.

"Neng Tiyas?! Ini beneran Neng Tiyas? Haduh, kemana aja sih Neng?" Heboh wanita itu menepuk pundak Tiyas berkali-kali dengan lembut, seolah dia baru saja bertemu dengan anak kandungnya sendiri setelah berpisah bertahun-tahun.

"Hehe, saya juga dikasih misi, Bi. Buat belajar di Jogja," jawab Tiyas.

"Haduh, Bibi udah lama enggak ketemu. Jaman SMA ya terakhir? Ini satu si Dek Rio, biasanya sama pacarnya kesini, udah lama enggak bawa pacarnya ke sini.''

Sontak saja ucapan itu membuyarkan senyuman malu-malu dari Tiyas. Perempuan itu tertegun dengan pandangan kosong, tampak langsung blank dengan penuturan dari Bi Ijah.

H A T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang