Selama makan, pikiran Tiyas berkelana merangkai cerita demi cerita. Cerita seperti apa yang harus ia jelaskan kepada Rio? Kini giliran Tiyas yang diserang perasaan bingung, ada apa Rio malah bertanya pasal Mas Beni? Apakah Rio juga sebingung ini saat Tiyas bersikeras ingin tahu seperti apa sebenarnya kisah lelaki itu bersama Vanesha, yang dulu benar-benar membuat Tiyas iri, dan bagaimana pula cerita lelaki itu dengan Anita?
"Jadi, aku boleh tahu siapa Mas Beni?" tanya Rio hati-hati.
Tiyas diam sebentar, meneguk air putih sedikit untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Mas Ben itu... mantanku," ujar Tiyas.
"Mantan?"
"Iya..."
Lalu Rio diam menunggu kelanjutan apa yang akan diceritakan Tiyas. Namun tampaknya perempuan itu enggan menjelaskan apa-apa, terlihat dari gerak kepalanya yang menjadi tertunduk sedikit.
"Dia... buat kamu terluka ya?" tanya Rio.
"Enggak... enggak! Dia enggak pernah sedikitpun ngelukain aku. Dia bahkan baik, sangat baik," ucap Tiyas cepat.
"Terus kenapa dia bisa jadi mantan kamu?"
"Justru aku yang ngelukain dia," ucap Tiyas.
Rio yang mendengar hal itu sontak dibuat kaget. Matanya membulat, dahinya berkerut samar. "Kamu? Kamu nyakitin orang?" tanyanya.
Tiyas mengangguk. "Kasusnya sama kayak kamu. Aku nerima dia, tapi enggak cinta, dia baik."
"Terus putusnya?"
"Hum, Yo, pulang yuk. Kata Mama enggak boleh pulang kemaleman," ujar Tiyas lalu ia berdiri.
Tiyas rasa Rio tak perlu tahu perihal putus hubungannya dengan Beni seperti apa.
*
Pikiran Tiyas berkelana entah kemana, rasanya ia hampir-akan-melupakan apa yang telah ia jalani selama 6 tahun di Jogja.
Seperti saat ini, Tiyas hanya berbaring di atas ranjang. Memandangi langit-langit kamarnya dengan gusar, berkali-kali menarik napas dalam-dalam saat teringat semua cerita yang Rio katakan pada beberapa malam lalu. Cerita soal seperti apa sebenarnya hubungan yang Rio jalani dulu bersama Vanesha, si gadis cantik ketua eskul pemandu sorak yang terkenal memang menyukai Rio sejak mereka kelas satu.
Kisah romansa Rio-Vanesha saat sekolah dulu banyak mengundang pandangan-pandangan iri. Rio memang bukan lelaki populer saat sekolah, eksistensinya biasa-biasa saja malah. Namun memang tidak ada perempuan yang mengatakan Rio itu tampangnya pas-pas-an, atau bahkan tampangnya di bawah standar lelaki ganteng, tidak ada yang mengatakan itu. Intinya, Rio itu good looking atau bahasa langsungnya, dia ganteng.
Sedangkan Vanesha, tidak ada yang memungkiri soal fisik perempuan satu itu. Dia cukup sempurna sebagai seorang cewek SMA pada zaman itu. Track recordnya dari kelas satu yang sudah ikut ke dalam tim pemandu sorak, lumayan cerdas terbukti dengan salah satu posisi 10 besar di kelas Vanesha yang mendudukinya, gadis itu juga baik, tidak pernah sombong, bertemanpun tidak pernah pandang bulu, ramah juga. Semua sisi baik hampir ia pegang.
Vanesha salah satu teman yang cukup Tiyas jadikan panutan saat SMA. Selain gadis itu sempurna sebagai anak SMA, ia juga bisa menarik perhatian Andrio Prakasa. Satu sisi Tiyas merasa kagum dengan pasangan itu, sisi lain dia merasa iri dengan posisi Vanesha.
Namun semua yang terjadi zaman SMA hanya sebuah rekayasa. Menipu setiap pasang mata. Walau Rio sebenarnya memang cuek-cuek saja sejak dulu, tetapi... ya who knows?
"Aku enggak pernah cinta Vanesha."
Bagaimana bisa Vanesha tahan hanya karena status pacaran, padahal dia tahu bahwa Rio tidak pernah mencintainya.
Ponsel yang berada di sisi kanannya meleburkan lamunan Tiyas. Ia melihat ponsel itu berkedip-kedip.
Pak Polisi.
Begitu nama yang tertera di layar ponselnya. Tiyas menghela napasnya dalam-dalam. Kenapa Pak Polisi ini sering sekali menghubunginya.
Setelah hanya diam menatap ponsel itu berkedip dengan sedikit jantungnya berdegub tidak karuan, akhirnya Tiyas bernapas lega saat panggilan dari Pak Polisi itu berakhir sekali lagi. Tiyas bingung, mengapa ia tidak bisa menerima panggilan dari Pak Polisi ini setiap kali pikirannya justru berputar-putar hanya soal lelaki--menyebalkan-- itu.
Suara berdenting berasal dari ponselnya membuat Tiyas melihat layar benda persegi panjang yang tipis itu.
Pak Polisi : aku sengaja beli pulsa banyak, biar bisa telponan sama kamu.
Pop up dari sebuah aplikasi pesan instan yang logonya berwarna hijau itu menampilkan pesan singkat--yang cukup menyebalkan menurut Tiyas-- dari Pak Polisi itu. Pak Polisi yang tinggal berada di seberang rumahnya.
Tiyas : apaan sih, ganggu.
Pak Polisi : aku mau telponan.
Tiyas : gk usah alay deh-_-
Pak Polisi : abis mikirin aku kan?
Tiyas : siapa?
Pak Polisi : basi
Tiyas : apaan sih gaje😒
Pak Polisi : kamu
Tiyas : kenapa aku?
Pak Polisi : abis mikirin aku kan?🙂
Tiyas : pd bgt sih pak
Pak Polisi : yes. you do. rigth?
Tiyas : you wish
Pak Polisi : berarti cuma aku ya?
Tiyas : apaan?
Pak Polisi : yg mikitin kamu
Pak Polisi : *mikirin
Tiyas : (read)
Lihat? Betapa menyebalkannya seorang Pak Polisi yang bernama Rio itu. Bahkan setelah membaca pesan Rio yang terakhir Tiyas mencak-mencak sendiri, tangannya sibuk memukul-mukul bantal sambil memasang muka cemberut. Dia tidak habis pikir kenapa Rio sekarang malah menjadi... gombal atau sedikit genit seperti ini? Tiyas benci kalau dibuat terbang hanya karena gombalan seperti itu.
Pak Polisi : aku gk gombal, itu kalo kamu nganggep gombal. aku jujur, Rio yang jujur.
"Ihhh apaan sih!! Dasar eek kecebong!"
*
KAMU SEDANG MEMBACA
H A T E
ChickLitSetelah enam tahun mencoba 'melarikan diri', hari itu Sabtu, 7 Februari 2015, Tiyas mencoba berdamai dengan masalalunya. Mengalah pada egonya demi Sang Ibu yang memang sudah merindukan kehadirannya di Bandung. Tidak pernah terprediksi olehnya, di B...