Bab 7

267 26 0
                                    

Untuk kedua kalinya, aku menangis karena pria bernama Park Chanyeol. Dari sejarah kami yang masih aku ingat dengan jelas, Chanyeol jarang membuatku menangis. Sepertinya, tidak pernah saat dulu kami berpacaran. Karena Chanyeol adalah tipe pria yang pengertian. Tanpa mengatakan apa yang aku mau, ia pasti akan mengetahuinya dengan cepat. Sepeka itu ia terhadapku. Dan untuk pertama kalinya aku menangis karenanya, adalah saat kami putus enam tahun silam. Sesuatu yang tepat menyakiti hatiku begitu dalam. Cinta pertama dan rasa sakit hati pertama yang aku rasakan. Dan kali ini, pada kedua kalinya, aku menangis karena ia membentakku.

Dulu, waktu aku masih bersamanya, kami juga sering sekali bertengkar. Saling berdebat hingga membentak, namun aku tidak pernah memasukkan hati saat kami sedang dalam situasi yang tidak baik. Kemudian, pada masa-masa kami selesai putus, meski aku sering bertengkar dengannya dan tak jarang mendengar kata-kata tajamnya, aku tidak pernah marah dengan sungguh-sungguh. Aku tahu, bahwa setiap manusia pasti butuh hiburan. Maka, Chanyeol-lah seperti hiburan bagiku. Beradu mulut dengannya dengan saling melontarkan ejekkan itu adalah sebuah hiburan untuk pengisi hari-hariku. Maka, aku tidak akan bosan meski kami bertengkar sebesar apapun.

Tetapi, kali ini, marahnya Chanyeol aku rasa terlalu berlebihan. Jika pada situasi biasa dan ia membentakku dengan sangat keras, mungkin aku memilih untuk ikut marah padanya saat itu. Tetapi karena situasinya ia membentakku di depan orang lain, aku rasa ia malah mempermalukanku di depan orang lain. Aku hanya merasa kecewa dengan tindakan Chanyeol itu.

Kini, di apartemen kecilku, aku terduduk di kursi sofa menghadap televisi. Mataku memandang lurus pada layar yang menunjukkan gambar beberapa orang yang tampak bercakap-cakap, tetapi sejujurnya pandanganku hanyalah kosong.

Dadaku rasanya sangat sesak sekali. Ingin menangis, namun berkali-kali aku mengatakan dalam hati untuk jangan menangis. Aku tahu, perasaanku saat ini hanyalah rasa terkejut akan bentakan Chanyeol. Maka dari itu, aku memilih untuk jangan menangis karena itu semakin mempermalukanku saja.

Tetapi, semua ocehanku hanyalah percuma. Sudah dari setengah jam lalu aku menangis seorang diri hingga hidungku rasanya tersumbat. Ini semua karena Chanyeol dan aku benar-benar ingin menenggelamkanya hidup-hidup saja.

Dan saat ini aku lebih memilih menyalahkan orang lain daripada rasa bersalahku terhadap pacar Chanyeol.

Kemudian, suara bel berbunyi membuat tangisanku terpaksa terhenti. Aku masih terdiam karena terlalu malas untuk beranjak. Alasan lain karena tampilan wajahku sangat kacau, tidak baik menyambut tamu dengan keadaan seperti ini. Maka, aku memilih diam saja sambil menatapi wajah aktor tampan yang tampil di layar televisi.

Namun, ternyata tamu tidak diundang itu memiliki sifat tidak sabaran. Bel apartemen dibunyikan berulang kali hingga rasanya mengganggu pendengaranku. Kepalaku otomatis berputar dan menatap tajam pada pintu yang masih tertutup rapat.

Aku menarik nafas panjang lalu membuangnya dengan kasar. Siapa tamu itu?! Terpaksa, aku berdiri dari posisiku kemudian melangkah dengan malas menuju pintu. Sebelum aku membukanya, kusempatkan untuk meraup wajahku agar tidak terlihat menyedihkan lalu mengembangkan senyum selebar mungkin. Setelahnya, aku segera menarik knop pintu, dan seketika senyumku luntur.

"Annyeong!" sapanya dengan riang sambil menyodorkan dua boneka kecil berbentuk kelinci ke arahku. Menjejalkan boneka itu pada wajahku dengan tidak tahu malunya.

Apa ia tidak menyadari bagaimana keadaanku karenanya?!

"Pergi!" kataku dengan nada datar.

Membuang boneka tidak penting itu, aku segera mendorong tubuhnya yang berhasil masuk untuk keluar. Namun, karena tubuh mungilku, tentu saja aku tidak kuat untuk mendorongnya.

Ex-BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang