Untuk kedua kalinya, Sarah termenung di beranda kamarnya menikmati nuansa pagi ditemani petikan gitar yang begitu memesonakan inderanya.
Dalam hati ia bertanya siapa gerangan yang begitu ahli memainkan jarinya pada senar gitar itu.
Sosok Bastian terlintas di pikirannya. Jarak rumahnya dengan rumah Bastian memang sangat dekat. Ditambah lagi beranda kamarnya menghadap ke jendela salah satu ruangan di rumah Bastian.
Seingatnya ruangan itu dulu adalah ruang keluarga Bastian.Tiba-tiba petikan gitar itu berhenti. Secara refleks, ia mendongak ke arah jendela. Namun usahanya sia-sia karena jendela besar itu ditutupi oleh gorden.
Perhatiannya beralih ke handphone yang sejak tadi ia putar di tangan kanannya. Matanya menatap foto dirinya dan Rian yang menjadi wallpaper handphonenya.
Sudah hampir enam bulan ia dan Rian berpacaran. Rian yang merupakan anak pengusaha terkenal lebih mirip seperti pembisnis daripada pelajar. Dengan status masih pelajar, ia telah mempunyai sebuah cafe yang memang ia percayakan kepada temannya untuk mengelolanya.
Selain sekolah, waktunya juga banyak dihabiskan untuk teman-teman sesama pengusaha. Bisa ditebak, Rian pasti akan mengikuti jejak ayahnya.
Sayup-sayup Sarah mendengar Ibunya menyanyi dari ruang tamu. Rumah mereka memang begitu sepi karena hanya dia dan Mama yang menghuni. Sarah beranjak dari tempat duduknya dan turun ke bawah menghampiri Mamanya.
"Baru datang ya, Ma ?" tanyanya ketika melihat Mama yang sedang asyik memilah dan menyusun pakaian yang masih terkemas rapi.
Sejak Papa meninggal, Mama menyibukkan dirinya dengan membuka sebuah butik. Diluar dugaan, butik milik Mama menghasilkan pendapatan yang lumayan besar.
"Iya. Kamu bantuin Mama menyusunnya dulu." Mama menggeser sebuah kardus besar ke sebelah Sarah.
"Mama nggak lupa nanti siang kan ?"
"Iya. Ke sekolahmu kan ?" kata Mama memastikan.
Sarah mengangguk. Hari ini adalah pengumuman apakah ia lulus atau tidak dari SMA
"Hari ini mama sangat sibuk, sayang. Kamu lihat sendirikan baju-baju ini baru saja sampai," kata Mama lembut.
"Jadi yang mengambilnya siapa dong ?"
"Mama sudah minta tolong sama Bastian untuk ke sekolahmu."
"Bastian ?" Sarah tidak percaya. Untuk pertama kalinya ia akan bertemu langsung dengan Bastian. Ia benar-benar belum siap.
"Iya. Dia akan menjadi wali kamu untuk menerima surat pengumuman kelulusan."
"Tapi kan.."
"Tapi apa ?" tanya Mama pada putrinya yang memasang wajah cemberut.
"Aku nggak mau pergi sama Bastian. Aku pergi sama Rian !"
"Memangnya Rian bisa mengambil surat kelulusan kamu ?"
Sarah menggeleng pasrah.
"Iya, tapi aku pergi sama Rian ke sekolah,"
"Lho, nggak bisa dong, Rah. Bastian kan nggak tahu sekolah kamu."
Sarah terdiam sebelum akhirnya pergi ke kamarnya.
"Ahh.. Mama.." teriaknya putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
can we be happy ever after? (COMPLETE)
Teen FictionBertemu kembali dengan tetangga sekaligus sahabat yg telah meninggalkannya bertahun-tahun, membuat Sarah enggan untuk bertemu dengan Bastian. Rasa kecewa dan benci membuat mereka menjadi seperti dua orang asing. Sebuah kejadian tidak terduga memak...