(6) Sebuah kenyataan

231 22 0
                                    

Sarah memasuki rumahnya yang kini sepi tanpa orang yang sangat di sayanginya. Rasanya ia telah kehilangan seluruh dunia tanpa mamanya.  Langkahnya lambat dan pendek, mengingat setiap kenangan yang terukir di setiap bagian rumah. Ingatannya menghadirkan sosok mama yang tengah tersenyum  menyambutnya.

Tangannya meraih sebuah foto mama dan dirinya yang tengah menyiram bunga di halaman. Jari-jarinya mengusap gambar mamanya yang terkena tetes air matanya. Saat ini ia benar-benar merindukan kehadiran mamanya disini. Dia mendekap erat foto itu di dadanya.

Di depan sebuah lemari kaca ia terduduk dan menyandarkan punggungnya. Matanya yang terlihat bengkak tampak terpejam. Menikmati keheningan yang tercipta, seraya mencari suara-suara dari kenangan dulu yang tercipta di tempat ini.

Dulu mama selalu membangunkannya yang masih tidur . Saat itu Mama akan mengeluarkan ancamannya ketika Sarah tidak menggubris usahanya.

Namun, pagi ini ia bangun tanpa ada suara yang membangunkannya.
Sarah membuka kelopak matanya. Hanya sepi dan hening yang ia temukan disini.  Tak ada tawa dan teriakan yang memanggil namanya lagi. Ia menarik napas panjang dan segera berdiri. Diletakkannya foto itu kembali pada tempatnya.

Langkahnya membawanya ke sebuah kamar  yang ditinggal penghuninya.  Kamar yang dulu menjadi tempat berlindungnya ketika petir menganggu tidurnya. Kamar yang masih menyisakan aroma tubuh mamanya.

Sarah berhenti di depan pintu kamar, ditariknya napas dalam-dalam. Memuaskan rasa rindunya dengan aroma kamar itu. Setelah beberapa menit berdiri dan mematung, ia berjalan ke sebuah cermin besar di sebuah lemari. Sejenak ia memandangi dirinya di cermin. Lebih kurus dan tampak  buruk dengan mata cekung dan bengkak.

  Ia menyeka air matanya yang masih tersisa. Ia tidak tahu berapa banyak air matanya jatuh dalam beberapa hari ini.  Sarah mencoba tersenyum meskipun pada akhirnya ia hanya mendapati raut sedih di wajahnya.

Tangannya menarik sebuah laci di depannya. Terlihat beberepa penjepit rambut dan lipatan kertas tagihan listrik di sana. Ia membuka laci lebih luas lagi, dan matanya menangkap sebuah buku kecil yang berselimutkan debu.

Perlahan ia mengambil buku yang ternyata sebuah buku harian.  Dengan hati-hati, Sarah membersihkan debu yang menutupi sebuah tulisan di sampul buku. Diary.

Sarah membolak-balikkan buku dan menemukan tulisan tangan yang memenuhi setiap lembaran buku. Ia duduk dan menyandarkan punggungnya di tempat tidur.  Dia kembali membuka halaman pertama buku.

Aku telah menemukanmu...

Tidak salah lagi, ini adalah tulisan tangan Mamanya. Sarah membalikkan halaman buku  yang kini berwarna kusam dan sedikit rusak.

Rabu, 15 Maret 1964
Hari ini kami berhasil melakukan eskpedisi ke sebuah gunung. Sebenarnya aku sangat lelah  setelah menempuh perjalanan  yang sangat jauh dan melelahkan, tapi aku juga senang karena dia selalu menghiburku dengan leluconnya yang basi. Sekarang aku benar-benar rindu dia.. sangat.   Besok aku akan mengajak Ratna menemuinya di sekolah.
Ku harap ia juga merasakan hal yang sama.

Sarah menghentikan bacaannya. Ia tidak menyangka akan membaca cerita cinta SMA Mama. "Siapa dia ?", tanyanya dalam hati. Ia mengerti kalau Tante Ratna adalah sahabat  mama sewaktu sekolah, tapi "dia" itu siapa ?"

Sarah membolak-balikkan lembaran buku dengan cepat. Ia menemukan puisi-puisi yang di tulis mamanya. Jujur, ia tidak tahu kalau Mama ternyata  jago membuat puisi.
Ia terpaku pada sebuah puisi dengan judul "Dengar  dan Rasakan Detaknya !".

Puisi yang sangat bagus dan menyentuh, namun ia belum menemukan identitas orang yang menjadi objek semua puisi ciptaan mama. Ia membuka halaman selanjutnya dan kembali menemukan cerita mamanya.

can we be happy ever after? (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang