Bastian membuka kelopak matanya. Telinganya bisa mendengar suara gerimis di luar. Entah mengapa ada perasaan khawatir yang timbul di hatinya.
Dia melihat seisi kamar, hanya dia seorang yang tengah berbaring dengan impus di tangan.
"Rah ?" panggilnya. Ia berharap Sarah ada di kamar mandi.
Berkali-kali ia memanggil namanya hingga akhirnya ia sadar ia sendirian.
Bastian meghembuskan nafasnya berusaha menenangkan diri dari rasa khawatir yang menerpanya saat ini.
Tiba-tiba tangannya menyentuh sesatu di tempat tidur. Segera ia meraih benda itu dan mendapati sebuah telepon seluler. Handphone milik Sarah.
Ruangan itu cukup sepi. Hanya beberapa pengunjung yang terlihat menikmati segelas minuman yang masih mengeluarkan uap panas.
Wajar saja, di luar gerimis telah berubah menjadi hujan deras. Dari jendela kaca kafe terluhat beberapa pejalan kaki berteduh di kanopi.
Sarah mengetuk-ngetukkan jarinya di samping gelasnya menunggu reaksi dari Rian yang menatapnya lekat-lekat.
"Aku tidak bisa," kata Rian tanpa mengalihkan pandangannya dari Sarah yang menatpnya penuh harap.
"Ta..tapi hanya kamu yang bisa," Sarah menjawab dengan cepat. Kedua tangannya di atas meja mulai bergetar. Bukan karena udara yang semakin dingin, tapi karena ia sangat takut dengan harapannya yang kini tergantung kepada Rian.
Rian kini menatap keluar kaca. Tak peduli bila Sarah kini mulai berkaca-kaca. Hati kecilnya merasa kasihan dengan keadaan Sarah saat ini tapi ia tidak membohongi dirinya yang masih cinta dengannya.
"Dokter bilang Bastian tidak akan mampu melewati kemoterapi berikutnya. Tanpa itu ia tidak akan bertahan lama," kata Sarah dengan nada putus asa, "Rian, dia butuh kamu. Hanya kamu yang bisa mendonorkan sumsum untuknya. Dia tidak punya waktu lagi,"
"Mengapa harus aku ?" tanya Rian dengan nada setengah berteriak.
"Karena... karena golongan darah kalian sama"
Rian menatap ke jalanan yang dipenuhi genangan air. Ia tak sanggup melihat wajah Sarah yang kini berlinang air mata.
"Rian, aku mencintainya," Sarah mengengam tangan Rian. Berusaha menyampaiakn perasaan yang ia alami saat ini. "Ku mohon, Rian."
Rian masih tak mengalihkan pandangannya dari kaca. Sekarang ia mengutuki dirinya yang memiliki golongan darah yang sama dengan orang yang telah merebut Sarah darinya.
"Rian ...?"
"Aku tidak bisa, Rah," katanya akhirnya.
"Aku tidak bisa.." ulangnya pada Sarah yang kini menggeleng pasrah.
"Rah, kau tahu.." Rian berdiri dari posisinya dan menatap Sarah yang juga menatapnya, "Seberapa besar kau mencintai Bastian, sebegitu besar aku menolak mendonorkan sumsumku. Karena...." Rian menarik napas sesaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
can we be happy ever after? (COMPLETE)
Teen FictionBertemu kembali dengan tetangga sekaligus sahabat yg telah meninggalkannya bertahun-tahun, membuat Sarah enggan untuk bertemu dengan Bastian. Rasa kecewa dan benci membuat mereka menjadi seperti dua orang asing. Sebuah kejadian tidak terduga memak...