(12) Khawatir?

179 18 2
                                    

Hari ini adalah akhir pekan, dimana biasanya hari ini dimanfaatkan untuk refresing bersama keluarga.

Sejak semalam, Sarah sudah menyiapkan beberapa hal untuk berpergian hari ini. Desti, dan Mira sudah berada di Bandung sejak beberapa hari yang lalu.

Di akhir pekan ini, mereka akan bertemu dan menghabiskan waktu bersama di puncak. Desti dan Mira juga mengajak Rian bersama mereka.

Sarah sudah memberitahu rencana perginya kepada Bastian. Ia juga mengajak Bastian untuk ikut. Tapi Bastian tidak menggubrisnya sama sekali. Ya, mau apalagi ? Baginya diam berarti setuju.

"Mau kemana, Rah ?" tanya Bastian yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Kan aku sudah bilang sama kamu semalam," Sarah memperbaiki tatanan rambutnya di cermin.

"Rah, aku tidak enak badan."

Sarah menghentikan aktivitasnya dan menghampiri Bastian.

"Bas, aku harus pergi. Desti dan Mira pasti sudah menunggu. Kalau kamu tidak membolehkan, harusnya kamu bilang tadi malam. Sekarang aku sudah bersiap untuk pergi," Sarah memperhatikan Bastian di depannya.

"Kamu nggak usah pura-pura sakit untuk menahanku disini."

"Rah.." Bastian tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena ia akhirnya ambruk di depan Sarah.

"Bas ? Kamu jangan bercanda !" kata Sarah seraya berusaha menegakkan tubuh Bastian.

"Bastian ?" Sarah menepuk-nepuk pipi Bastian.

"Kamu jangan main-main, Bas !" katanya begitu Bastian belum sadar juga.

Dengan terpaksa, Sarah segera memindahkan Bastian ke kamarnya. Sekuat tenaganya ia membawa tubuh Bastian yang cukup berat untuknya.

Ia lalu membaringkannya di tempat tidur. Sekali lagi ia menepuk pipi Bastian, tak ada respon. Dengan segera ia mencari minyak angin di kamar Bastian. Setelah memeriksa semua sudut kamar Bastian, ia akhirnya menemukannya.

Sarah menciumkan minyak angin ke hidung Bastian. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Bastian tersadar.

"Ternyata kamu benar-benar pingsan," guman Sarah merasa bersalah.

"Bas, kamu sakit ?" tanyanya begitu Bastian membuka matanya.
Bastian mengangguk lemah. Sarah bisa melihat bibir Bastian yang pucat.

Sejak tadi, Bastian belum sarapan. Ia menggelengkan kepala, menyayangkan Bastian yang harus sakit di waktu seperti ini. Bastian menarik tangan Sarah begitu ia hendak pergi.

"Kita harus ke dokter !"

"Nggak perlu, Rah,"

"Tapi kamu sakit, Bas !"

"Nanti juga sembuh," kata Bastian dengan lemah.

Sarah menatap Bastian cukup lama. Memastikan apakah Bastian yakin dengan perkataan.

"Aku masak bubur dulu," kata Sarah akhirnya. Sebelum Bastian mencegatnya, ia langsung melesat pergi.

Butuh waktu lebih satu jam sampai akhirnya ia berhasil memasak semangkuk bubur yang benar-benar bubur. Sarah melihat beberapa mangkuk yang dipenuhi bubur yang gagal. Ia mengangkat bahunya dan membawa semangkuk bubur ke kamar Bastian.

Bastian membuka matanya begitu Sarah masuk ke kamarnya. Ia lalu menegakkan tubuhnya melihat apa yang dibawa Sarah.

"Kamu harus makan,"  Sarah sudah siap dengan sendok di tangannya.
Bastian sedikit ragu untuk merasakan masakan Sarah. Tapi melihat sendok yang sudah di acungkan Sarah, ia akhirnya menerima suapan bubur itu.

Ia mengangguk. Bubur buatan Sarah tidak seburuk perkiraannya.

"Kamu jadi pergi ?"  tanya Bastian di sela-sela suapan Sarah.

"Ya, aku sudah janji dengan Desti dan Mira."

Bastian mengangguk lemah.

Sepertinya Sarah benar-benar ingin pergi. Ia membaringkan tubuhnya begitu semangkuk bubur di habiskannya. Sarah menungu Bastian terlelap sebelum ia pergi keluar.

"Maaf. Aku harus pergi," bisiknya.
Ia yakin Bastian hanya perlu istrirahat setelah beberapa hari ini begadang menonton siaran bola.

Sarah menangkap sebuah buku yang bertuliskan, "My Song" yang keluar dari laci yang dibongkarnya tadi untuk mencari minyak angin.  Rasa penasarannya membuat Sarah mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam tas.

"Aku pergi," katanya pelan.

Sarah memperhatikan sampul buku yang di bawanya dari kamar Bastian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sarah memperhatikan sampul buku yang di bawanya dari kamar Bastian. Entah mengapa sejak tadi ia terus memikirkan Bastian. 

Bagaimana kalau ia  pingsan untuk kedua kalinya ? Harusnya ia tidak pergi meninggalkan Bastian. Tapi ia sudah berjanji dengan teman-temannya. Sarah menggeleng kuat-kuat, ia hanya terlalu khawatir.

"Bastian pasti baik-baik saja," katanya pada dirinya sendiri.

Dengan perlahan ia membuka buku itu. Terdapat beberapa bait lagu yang ditulis Bastian lengkap dengan kunci gitarnya. Sarah mengangguk, buku ini berisi tentang lagu-lagu yang entah di ciptakan Bastian  atau lagu kesukaannya. Sekarang ia benar -benar yakin, kalau orang yang bermain gitar waktu itu adalah Bastian.

"Rah, ayo ! Kita sudah sampai," Desti menarik tangan Sarah.

"Eh, iya." Sarah terkejut dan segera menutup buku yang sedang ia baca.

Ia lalu keluar dan mengikuti kedua temannya yang berjalan di depannya.

"Kamu nggak apa-apa ?" tanya Rian yang berjalan di sampingnya. Sejak tadi ia memperhatikan raut muka Sarah yang tidak seperti biasanya.
Sarah menggeleng.

"Mengapa Bastian tidak ikut ?"

"Ngg.. dia,"

"Say Ciss.." Mira menjepretkan kamera ke arah Sarah dan Rian.

"Serasinya..." Mira dan Desti melihat hasil jepretannya. Di belakang mereka Sarah dan Rian hanya menggeleng melihat kelakuan teman mereka yang kini sibuk dengan kamera.

"Kau akan beritahu mereka ?" tanya Rian.

"Entahlah,"

Mereka menuju vila milik keluarga Destiyang memiliki halaman yang luas dengan berbagai bunga dan pohon hias.

Kebersamaan mereka diabadikan dalam kamera begitu mereka tiba di depan vila.  Sarah hanya bisa tersenyum melihat kekonyolan teman-temannya yang mengira ia masih berpacaran dengan Rian.

Seandainya mereka tahu..

Seandainya mereka tahu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
can we be happy ever after? (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang