Bastian baru saja menyelesaikan laporan yang akan ia serahkan kepada atasannya. Meskipun Ayahnya adalah pendiri perusahaan ini, ia tidak mau diperlakukan secara khusus dan memegang jabatan terpenting.
Ia ingat pesan ayahnya yang mengatakan bahwa seorang pemimpin yang baik harus belajar dari posisi terendah. Lagi pula ia baru saja lulus kuliah dan belum mengerti tentang perusahaan ini.
Bastian memegang keningnya. Belakangan ini ia sering merasa pusing dan nyeri pada tulangnya. Ia juga menjadi sering merasa kelelahan.
Awalnya ia berpikir karena begadang, tetapi semalam ia tidur lebih awal. Ia lalu menyandangkan tasnya untuk segera pulang.
"Mas Bastian mau jemput isterinya dulu ya?" tanya Vivi, salah seorang wanita yang datang ke rumahnya.
"Isterinya baru tamat SMA, Vi ?" tanya seorang temannya sambil meliriknya.
Bastian menggeleng mendengar pembicaraan mereka. Kepalanya yang berdenyut memaksanya untuk segera meninggalkan kantor dari pada menggubris mereka.
Langkahnya tersendat begitu mendekati mobilnya di parkiran. Dia memegangi kepalanya yang berdenyut hebat dan matanya yang kini berkunang-kunang.
Tubuhnya terasa berkeringat. Sekuat tenaga ia berusaha tetap berdiri dan membuka pintu mobilnya. Begitu di dalam mobil, ia segera mencari obat sakit kepala yang belakangan ini sering ia bawa di tasnya. Butuh beberapa menit setelah menelan obat, Bastian baru menjalankan mobilnya.
Tujuannya adalah menjemput Sarah. Karena harus menyelesaikan laporan, ia akhirnya pulang lebih lama dari biasanya. Bastian melirik jam tangannya, jam segini Sarah sudah pulang.
Bastian keluar dari mobilnya begitu telah sampai di kampus Sarah. Matanya mencari-cari sosok Sarah di antara mahasiswa yang lalu lalang di pintu gerbang.
"Sarah !" panggilnya begitu matanya menangkap sosok orang yang dicarinya keluar dari dalam kampus.
Sarah terkejut mendapati Bastian yang menunggunya . Dengan segera, ia menghampirinya.
"Lho, kok tumben ?" tanya Sarah setelah mereka berada dalam mobil.
"Kebetulan aku baru saja selesai dari kantor. Nggak ada salahnya kan aku menjemputmu?"
Sarah mengangguk, "Makasih ya bas."
Bastian tersenyum. Padahal ia mengira Sarah akan memarahinya karena berani menjemputnya. Nyatanya, Sarah terlihat nyaman-nyaman saja.
"Makan di luar yuk ?" ajak Sarah tiba-tiba.
Bastian mengangkat alisnya. Ia benar-benar bingung melihat sikap Sarah yang berubah. Tetapi rasa senangnya jauh lebih besar dari pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di benaknya.
"Ng.. dimana ?"
"Terserah. Aku nggak mau makan masakan kamu lagi. Bosan !" Sarah menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Sudah beruntung aku mau masak," balas Bastian seraya membelokkan mobilnya ke sebuah restoran jepang.
Perubahan dari sikap Sarah bukan hanya membuat Bastian senang, tetapi juga menimbulkan kecanggungan antara mereka.
Mereka lebih banyak terdiam daripada berdebat seperti yang sudah-sudah.
Malam ini, Bastian memainkan jari-jarinya pada senar gitar, menghasilkan melodi yang begitu menenangkan.
Di sebelahnya Sarah tampak asyik membaca buku. Kedua matanya terpaku kepada buku, tapi hati dan pikirannya tidak.
Sejak tadi ia berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang tidak karuan. Sedikit pun ia tidak berani untuk melirik pria di sebelahnya. Apalagi ia dan Bastian kini berdua di kamarnya.
Kalau bukan karena petir, ia tidak akan berteriak dan Bastian tidak akan datang ke kamarnya. Sesekali suara petir masih terdengar, namun tidak sekeras yang pertama. Bastian akhirnya mengambil gitarnya, daripada membisu di samping Sarah yang sedang belajar.
Ia dapat merasakan kecanggungan antara mereka. Sebuah lagu terlintas di pikirannya. Dengan terampil, ia mulai memainkan melodi lagu masa kecil mereka dulu. Lagu yang sering mereka nyanyikan di bawah pohon Rumah Pak Ali. Lagu yang selalu di dengarnya bila merindukan Sarah di rumah barunya.
Sarah terhenyak mendengar Bastian yang menyanyikan lagu "Andaikan aku punya sayap." Ia memberanikan diri melihat Bastian yang tengah berkonsentrasi. Sarah menatap Bastian lekat-lekat. Tanpa ia sadari ia tengah menikmati pesona wajah Bastian.
Tiba-tiba Bastian menghentikan jari-jarinya. Dengan penuh kesakitan ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut hebat.
"Bas ?" Sarah tersentak melihat Bastian yang memegangi kepalanya.
"Kamu mengapa ?" tanyanya panik.
Bastian masih memegangi kepalanya. Pelan-pelan ia memijit kepalanya."Kepala kamu sakit ?"
Bastian mengangguk. Wajahnya memperlihatkan kesakitan. Dengan segera Sarah menyingkirkan gitar dan membaringkan Bastian di tempat tidur."Aku ambil obat dulu," katanya langsung berlari ke lemari penyimpanan obat . Setelah mencari kesana-kemari akhirnya ia menemukan obat dan segera memberikannya kepada Bastian.
"Kita ke rumah sakit ?" tanya Sarah khawatir melihat kondisi Bastian. Ia takut ada kenapa-kenapa dengannya.
"Ng..nggak usah, Rah !" Bastian memejamkan matanya berusaha untuk menenangkan dirinya. Sarah menyelimuti Bastian dan duduk di sebelah tempat tidur. Tangannya meraih tangan Bastian lalu menggengamnya.
"Masih sakit ?"
Bastian membuka matanya dan tersenyum pada Sarah. Berusaha menyampaikan kalau ia baik-baik saja. Sebelah tangannya yang bebas menepuk-nepuk tempat tidur di sebelahnya."Ng..a..aku.." Sarah menjadi salah tingkah dan bingung begitu sadar kalau Bastian tengah mengajaknya berbaring di sebelahnya.
"Rah ?" Bastian tersenyum melihatnya yang kini kebingungan.
Sarah mengagaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak yakin akan melakukan hal itu. Sekarang ia bisa melihat wajah memohon Bastian."Aku mau belajar," Ia melepaskan genggammannya dan segera menekuni buku di meja belajar.
"Rah ?"
"Aku lagi belajar," katanya tanpa menoleh. Karena ia tahu wajahnya kini merona merah.
Esok harinya, Bastian berencana untuk pergi ke dokter. Tentu saja setelah ia mengantar Sarah ke kampusnya. Ia tidak ingin memberitahunya kepada Sarah. Ia tidak ingin Sarah khawatir terhadap kondisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
can we be happy ever after? (COMPLETE)
Teen FictionBertemu kembali dengan tetangga sekaligus sahabat yg telah meninggalkannya bertahun-tahun, membuat Sarah enggan untuk bertemu dengan Bastian. Rasa kecewa dan benci membuat mereka menjadi seperti dua orang asing. Sebuah kejadian tidak terduga memak...