Aku ga habis pikir dengan Haykal. Apa maunya laki-laki ini? Jauh-jauh aku meninggalkan kampung halaman dari ujung Sumatera sana agar bisa berkarir lebih baik disini, eh...belum apa-apa sudah diajak nikah. Katanya ibunya yang minta. Itu sebulan yang lalu. Sekarang dia bilang apa mungkin setelah menikah kami tinggal di Klaten? Itu tempat apa juga aku tidak tahu.
Dan sekarang, laki-laki itu ada di depanku. Menanyakan kepastian. Ah, bukan. Bukan kepastian. Dia datang dengan keraguan dan sejuta masalah yang ingin dia bagi denganku. Aku mendengarkan dengan perasaan tak menentu.
Aku belum ingin menikah. Umurku masih 25 tahun. Aku masih ingin membangun karir. Itu juga yang aku bilang pada orang tuaku di kampung. Dan mereka mendukungku. Mereka tidak memaksa-maksa ku untuk segera menikah. Aku merasa beruntung. Tapi Haykal memintaku memberikan pencerahan disaat pikiranku juga tidak sedang cerah.
Aku bertemu dengannya 5 tahun lalu saat ada temu alumni di kampus. Saat itu aku masih semester 5. Haykal diundang sebagai alumni yang berbicara tentang pengalamannya selama kuliah dan berbagi pengalaman setelah bekerja. Aku memang tertarik padanya saat itu juga. Wajahnya yang ramah, enak dipandang dan semyumnya yang bertebaran membuat perempuan tanggung sepertiku menjadikannya idola. Saat coffee break aku bahkan mendekatinya untuk bertanya tentang prospek kerja untuk lulusan seperti kami. Dia menjawab dengan lugas. Dia juga tidak pelit membagi nomer teleponnya. Sejak itu kami dekat. Dan aku resmi menjadi pacarnya malam setelah aku diwisuda.
Jangan ditanya perbedaan umur kami. Tapi buatku saat itu bukanlah masalah. Saat itu. Saat ini, itulah masalahnya.
Umurnya 32. masih sangat muda untuk seorang laki-laki. Tapi katanya ibunya sudah menuntut dia menikah. Dan dia minta aku mengijinkannya melamarku ke ayahku. Antara iya dan tidak, aku hanya menjawab,"Terserah."
Tapi kali ini dia malah bertanya bagaimana jika setelahnya kami tinggal di Klaten menemani orang tuanya. Pertanyaan macam apa itu? Pemikiran yang aku tidak tahu dari mana datangnya. Aku tidak peduli dia jadi tuan tanah disana. Karena aku tidak yakin akan harta warisan. Dan itu yang ingin dia pertahankan.
"Ini bukan karena kamu dijodohkan kan Kal?" tanyaku kesal.
"Maksud kamu apa?"
"Ya, siapa tahu kamu cari-cari alasan untuk putus karena kamu dijodohkan di Klaten."
"Hah?!"
"Bisa jadi kan?"
"Iya, bisa jadi. Tapi aku ga sepengecut itu ya Nggi. Sejak kapan kamu memandang rendah aku?"
"Aku cuma membaca segala kemungkinan kok."
"Kamu pikir aku mau melamar kamu ke orang tuamu itu main-main?"
"Terus kenapa harus pindah ke Klaten?"
"Aku kan sudah bilang masalahnya. Tolong aku beri pencerahan, jalan keluar atau apalah pendapatmu yang menguatkan aku. Aku sedang bingung. Kamu kan pacarku. Salah aku berbagi dengan kamu?"
"Gini ya Kal. Sebelumnya kamu kan sudah tahu kalau aku tidak ingin nikah buru-buru. Yah mungkin, 2 atau 3 tahun lagi. Eh, sekarang kamu ngajak. Jelaslah aku jadi ikut suntuk."
Haykal mengusap kasar mukanya.
"Belum lagi kamu mengajakku tinggal di Klaten setelah menikah. Terus karirku disini bagaimana? Karirmu juga bagaimana?"
"Karena kamu calon istriku makanya aku ajak diskusi," bentaknya.
Aku merasa penbicaraan ini akan berujung pertengkaran. Aku sudah malas meneruskan.
"Ok, gini aja Kal. Kita break aja sebulan. Kita sama-sama berpikir. Bertanya pada diri sendiri kita ini mau kemana. Setelah itu, kita ketemu lagi disini," tanyaku memberi menawaran.
"Gimana?" lanjutku.
Dia menoleh ke kiri. Dagu dan bagian mulutnya tertutup oleh telapak tangan kanannya. Terlihat dia sedang berpikir.
"Baik, kalau maumu begitu," ujarnya kemudian.
VOCÊ ESTÁ LENDO
Kalau Sama Aku...., Mau?
General FictionApakah kalian percaya pada persahabatan tulus laki-laki dan perempuan? Aku kok kayaknya tidak.... Mari kita buktikan!