Kembali nulis nih, guys. Kalo lama ga update, artinya lagi konsen sama tugas kuliah, hehehe...
Happy reading ya...
Seminggu Haykal cuti di kota kelahirannya. Bukan cuti sebenarnya, mempelajari segala kemungkinan. Itu dia lakukan karena orang tuanya yang meminta. Ah, bukan. Itu dia lakukan karena menghindari pertengkaran dengan ayahnya. Memang sepertinya ibunya yang memaksa dia kembali ke kampung halaman. Tetapi sebenarnya, ibunya hanyalah tameng yang digunakan ayahnya agar ia bisa menyerang Haykal tanpa terluka.
Kini masa cutinya berakhir. Dia harus kembali. Dia harus pamit. Dan dia tidak tahu caranya, cara untuk menghidari konflik dengan ayahnya.
"Bu, besok aku kembali," ujarnya lirih, suatu sore sepulang dari kantor kecil di pojok tanah perkebunan itu.
"Kamu yakin?" tanya ibunya, prihatin.
"Aku pulang karena cuti, Bu. Aku kan sudah bilang masih memikirkan."
"Kamu ga kasihan ayahmu?"
"Bu, tolonglah jangan mulai lagi. Jangan membuatku terpojok. Akan aku pikirkan. Sungguh. Tapi beri aku waktu."
Ibunya menghela nafas.
"Kamu ngomong sendiri sama ayah. Ibu ga mau ikut-ikut."
"Jangan begitu bu. Bantu aku. Ibu kan tahu, ayah orangnya ga mau kompromi."
"Itu kamu tahu."
"Iya Bu. Meski aku harus meneruskan usaha ini kan ga bisa serta merta. Aku harus mengajukan resign dulu. Diproses. Termasuk pengurusan SPT pajakku."
"Walah, ribet ya Kal?"
"Ya, iya Bu. Ini bukan semata-mata urusan karir. Aku juga harus menyiapkan kaderku sebulan sebelum resign."
"Termasuk menyiapkan mental pacarmu?" tanya ayahnya dari belakang, tiba-tiba.
Baik Haykal maupun ibunya sama-sama menegang. Mereka saling berpandangan dan terdiam. Suasana seakan mencekam.
"Ya sudah, besok kamu kembali. Tapi ayah tidak mau tahu, sebulan lagi kamu harus sudah ada disini!"
Ibunya menarik nafas, lega. Haykal memejamkan mata, serasa ada yang lepas dari bebannya. Baiklah, sebulan. Dia masih ada waktu untuk berpikir.
"Sudah pamit pada Roni dan Rubi?" lanjut ayahnya.
"Tidak, yah," jawabnya pendek.
"Kenapa?"
"Maunya pamit sama ayah dan ibu dulu."
Ayahnya tersenyum.
"Aku sudah mengijinkanmu. Pamitlah pada mereka."
"Baik, yah."
Selanjutnya Haykal meninggalkan dapur dan mulai membuka telepon selulernya untuk menghubungi Rubi dan Roni.
"Lama menunggu kami, Pak?" tanya Roni begitu sampai di warung lesehan dan bertemu Haykal. Dia menyalami bos mudanya itu dan diikuti oleh Rubi.
"Enggak juga. Baru 10 menit yang lalu aku nunggu. Silakan duduk."
"Bapak kok tahu warung ini?" tanya Roni setelah duduk.
"Eh, aku lahir disini. Masa kalah sama kalian yang cuma KKN sudah main ke kampung sebelah," jawab Haykal santai.
Yang tertohok Rubi. Dia tertunduk, malu.
"Tapi sebelumnya aku minta maaf ya, sambil nunggu kalian aku sudah pesan makanan untuk kita. Biar irit waktu maksudnya. Hanya minum kalian yang belum aku pesanin. Kalian pesan sendiri, ya."
"Baik, pak."
"Ada acara apa nih pak mengundang kami kesini? Bapak ulang tahun?" tanya Roni, senyum-senyum senang.
"Aku balik besok. Aku mau pamit sama kalian."
Rubi dan Roni yang sedang memilih menu minuman tertegun. Mereka tidak melanjutkan kegiatannya.
"Bapak tidak jadi melanjutkan usaha pak Aswin?" kali ini Rubi yang bertanya.
"Sedang aku pikirkan, Ru. Kalaupun aku jadi mengambil alih usaha ayah, aku harus membereskan yang disana dulu."
Suasana kembali hening.
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku mengajak kalian kesini untuk senang-senang selain pamitan. Aku juga mau berterima kasih karena kerja yang kalian lakukan untuk ayah."
Baik Roni maupun Rubi tidak ada yang berani bersuara.
"Ayolah, jangan begini."
"Sebenarnya saya sudah mulai cocok kerja sama Bapak. Bapak bisa mengerti ide kami dan tahu bagaimana mereview bahkan menindaklanjutinya. Kalau sama pak Aswin, selain sungkan, beliau juga sangat pasrah pada kami, pak."
"Saya juga merasakan hal yang sama, pak." Rubi ikut berkomentar.
Haykal terbahak.
"Kalian ini memang cocok ya. Satu sama lain punya rasa yang sama. Kenapa ga pacaran saja?"
Sambil berkata demikian, Haykal melihat ke arah Roni. Yang dilihat tersenyum malu.
"Aduh, kenapa Pak Haykal jadi membahas yang begini lagi?" Rubi mulai protes.
"Lah, yang salah dari Roni apa Ru? Muka, cakep. Kerja, ok. Perhatian lagi sama kamu."
"Salahnya, karena saya sudah kenal dia luar dalam pak."
"Hah? Luar dalam?"
"Owh, eh,.. maksud saya, saya sudah kenal dia semuanya pak. Ga ada lagi yang dieksplore."
"Hah? Luar biasa!"
Masih dalam posisi tertawa, Haykal meneruskan komentarnya.
"Maksud saya, saking kenalnya saya sama Roni, sampai ga ada rasanya pak."
Haykal terbahak sementara Roni cemberut, dan Rubi bingung membenahi kalimat.
"Jadi, sukanya sama yang baru kenal ya?"
"Iya pak," Rubi mengangguk mantap.
"Sama aku dong!"
Roni terbelalak dan Haykal baru tersadar.
"Maaf, Ron...."
VOCÊ ESTÁ LENDO
Kalau Sama Aku...., Mau?
General FictionApakah kalian percaya pada persahabatan tulus laki-laki dan perempuan? Aku kok kayaknya tidak.... Mari kita buktikan!