SELERA

376 58 4
                                    


Hadir lagi setelah lebaran...

Mohon maaf lahir batin, guys...


Lama-lama aku jengah juga sam Roni. Sebentar- sebentar dia melirikku. Setelahnya, dia melirik Rubi. Kemudian menunduk, mencoba fokus pada pekerjaannya. Aku jadi khawatir dia tidak konsen. Banyak pelanggan yang harus dia hubungi. Banyak juga kerja sama dengan supplier yang harus dia tindak lanjuti. Lah ini kalo kerjanya dari tadi lirik-lirikan jadi bagaimana?

Akhirnya aku berdiri menghampirinya.

"Ada masalah Ron?"

Dia tampak terkejut.

"Tidak ada, Pak."

"Kalau perlu bantuan jangan diam saja. Perlu bantuan Rubi ya tinggal bilang aja."

"Tidak Pak, saya hanya sedang merekap komunikasi saja," jawabnya mengelak.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya. Ada yang mau aku diskusikan dengan Ayah. Nanti aku kembali, kita bicarakan sama-sama."

"Siap, Pak," jawab Roni dan Rubi bersamaan.

-----


"Ru, Pak Haykal sopan ga sama kamu?"

"Maksud kamu apa?"

"Dia bukan womanizer kan?"

"Kalau iya juga wajar kali Ron. Ganteng, sukses, siapa juga yang ga mau?"

"Termasuk kamu?"

Rubi langsung memukul kepala Roni dengan kertas yang paling dekat dengannya.

"Aku serius nanya Ru. Khawatir kamu jadi salah satu korbannya."

Kembali Rubi memukul kepala Roni dengan kertas yang membuat Roni mengaduh. Bukan karena sakit tapi karena rambutnya jadi berantakan.

"Kamu itu ngomong pake mikir kenapa. Masa iya beliau mau sama aku. Itu bisa terjadi kalau aku perempuan terakhir di dunia."

"Kalau kamunya gimana? Mau ga sama Pak Haykal?"

"Roni! Otak kamu kenapa sih?"

"Lah, abis sama aku kamu ga mau. Kalau sama Pak bos, mau?"

Rubi diam sesaat. Kemudian menghela nafas.

"Aku bukan seleranya."

"Bagaimana kamu tahu?"

"Pacarnya yang di Jakarta cantik seperti model. Rambutnya panjang. Kulitnya putih."

"Terus?"

"Kemarin teman mbak Elsa yang di kenalkan ke Pak Haykal juga cantik. Rambutnya panjang. Ga terlalu putih. Tapi yang jelas ga segelap aku."

"Terus?"

"Dua-duanya bukan anak kemarin sore seperti aku."

"Terus?"

"Ga ada terusannya kecuali kamu nanya terus."

Rubi mulai marah. Roni terbahak.

"Kenapa tertawa?"

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

Kali ini Rubi menautkan alisnya.

"Pertanyaan yang mana?"

"Pak bos itu selera mu ga?"

Rubi diam lagi. Kemudian berpaling ke Roni.

"Bukan."

"Yakin?"

Rubi mengangguk yakin.

"Kenapa?"

"Selain terlalu tua, kayaknya orangnya terlalu serius."

"Tua gimana? Emang kamu ga serius?"

"Ya tua lah, umurnya sudah 32. Kita kan baru 22. Itu kan sama dengan umur om Wawan. Adiknya mama. Ya, memang sih om Wawan 34. Tapi kan ga terlalu beda sama Pak Haykal."

Roni medengarkan dengan seksama.

"Apa lagi?" tanya Rubi.

"Kamu ga merasa serius?"

Sambil menghela nafas, Rubi menjawab,"Aku kan serius cuma di kerjaan Ron. Kamu tahu itu. Kalau di luar kan aku maunya nyantai, sedikit hura-hura juga. Kalau sama Pak Haykal, ga di kantor ga di rumah kayaknya sama. Ya gitu-gitu aja. Kayaknya dia perlu istri yang ibu rumah tangga penuh deh. Biar bisa bantu dia distract urusan kantor."

"Gitu ya Ru?"

Rubi mengangguk.

"Lagian kenapa sih kamu ngomongin beginian?"

Sekali lagi Roni tertawa.

"Ya, ga pa-pa. Cuma ingin tahu aja ntar jodohmu kayak apa setelah nolak aku."

Kali ini Rubi melempas vas bunga di mejanya ke arah Roni.

"Sentoloyo!"

Kalau Sama Aku...., Mau?Onde histórias criam vida. Descubra agora