RUBI

491 58 2
                                    


Indonesia lagi musim hujan kan?

Makanya, mulmednya The Rain saja, hehehe...



"Jadi, kamu mau ke lapangan sekarang?" tanya Haykal.

"Sudah selesai, Pak?" tanya Roni balik.

"Belum."

"Jadi?"
"Habis dari lapangan kita lanjutkan."

"Bapak mau ikut ke lapangan?"

"Apa aku bilang mau ikut?"

"Tidak sih, tapi resepsinya kesitu."

"Resepsi?"

"Hehehe...saya anak sastra, Pak. Itu salah satu teori sastra, berasumsi berdasarkan data."

"Data?"

"Iya. Kalimat Habis dari lapangan kita lanjutkan itu bisa berarti subjeknya kita. Artinya kita bisa berangkat bersama," jelas Roni panjang lebar.

Haykal manggut-manggut, terperangah.

"Aku pikir pesta."

Hahaha....Roni ngakak. Sekali lagi Haykal melotot. Sekali lagi, Roni mengkeret.

"Permisi pak," katanya seraya meninggalkan tempat.

Pandangan Rubi mengikuti langkah Haykal.

"Saya balik ke meja saya pak?" tanyanya kemudian.

"Belum. Aku mau ngobrol dulu sama kamu."

"Baik pak."

"Jadi Roni itu teman sekolahmu yang lahir di hari yang sama dengan kamu?"

"Bukan pak, dia tetangga saya."

"Tetangga?"

"Iya pak. Sebenarnya ibu saya bersahabat dengan ibunya. Saya juga tidak tahu kok hamilnya juga bareng. Bedanya saya perempuan dia laki-laki. Mana rumahnya cuma beda gang lagi."

"Jadi, kalian kenal sejak kecil?"

"Sejak lahir pak. Kami lahir di rumah sakit yang sama."

"Apa?!"

Rubi hanya mengangguk.

Buat Haykal ini hal yang benar-benar diluar pikiran. Semuanya terlihat serba kebetulan.

"Hubungan kalian baik? Akrab?"

"Ya iyalah pak. Sejak kecil kemana-mana bersama. Kuliah juga di kampus yang sama. Hanya beda jurusan saja."

"Kamu jurusan apa?"

"Hukum pak."

"Kok tertarik kerja urusan admin?"

"Dulu kan yang penting kuliah pak. Ga ngerti juga mau jadi apa. Untung ketemu pak Aswin."

Haykal tersenyum.

"Umur kamu berapa?"

"Dua puluh dua tahun pak."

"Hah?! Kalian muda sekali. Ga ingin cari pengalaman dulu?"

"Ini kan juga pengalaman pak. Kami merantau disini. Kota tempat kami tinggal 3 jam bis dari sini."

Lagi-lagi Haykal mengangguk-angguk.

"Selama 22 tahun itu, kalian ga pernah pacaran?"

"Aduh bapak, kan saya sudah bilang ogah."

"Kenapa?"

"Orang tua kami sih senang-senang saja kami jadian. Sudah sama-sama tahu latar belakang masing-masing. Tapi sayanya yang ga mau."

"Iya, kenapa?"

"Kurang tantangan pak."

"Maksudnya?"

"Saya inginnya punya pasangan yang baru kenal. Jadi ada tantangan untuk belajar saling mengenal, saling menerima, dan saling mengalah."

Haykal menggaruk kepalanya.

"Tidak terlalu riskan?"

"Kalau niatnya baik, resiko apapun akan ditanggung bersama pak."

Sekali lagi Haykal terperangah dibuatnya.

"Sudah ketemu?"

"Ketemu apa pak?"

"Ya ketemu anak bu Asih. Kan mereka orang baru buat kamu."

"Aduh pak. Mereka anak-anak manja. Hanya mengandalkan warisan orang tua. Ngomongnya tentang harta melulu. Bosan. Kalau sudah begitu, jelas Roni lebih baik."

Haykal tertawa.

"Jadi, mulai mempertimbangkan Roni nih?"

"Ga juga pak. Dia pilihan terakhir, kalau sudah ga ada kandidat lagi. Lagian umur saya masih muda. Santai saja."

"Yakin? Ntar nyesel loh."

"Aduh...Bapak kok jadi menjodohkan saya sama Roni sih?"

"Ya, siapa tahu jodoh," kata Haykal tersenyum.

Dia memperhatikan Rubi dengan seksama. Ternyata kalau sudah menyentuh emosi, anak ini memang masih pantas berumur 22 tahun. Tapi kalau sudah serius dan fokus bekerja, wajahnya sangat jutek. Kerjanya terlihat efektif dan efisien. Tadi Haykal sempat melihat laporannya. Dan memang sangat rapi.

Kalau Sama Aku...., Mau?Onde histórias criam vida. Descubra agora