Selamat malam Minggu ya, guys. Terima kasih karena sudah membaca, men-vote, dan memberi komen pada karya ini. Semoga selalu suka. Akhirnya, selamat membaca chapter ini....
Terakhir kami makan malam bersama adalah lebaran kemarin. Tidak mudah bagi kami untuk bisa berkumpul disini. Tidak ada diantara anak orang tuaku yang tinggal di Klaten. Aku lama di Jakarta dan adikku di Solo. Jadi jika ada acara seperti ini dan kami semua bisa meluangkan waktu, adalah hal yang membahagiakan. Tapi kenapa kali ini Elsa membawa orang luar? Iya, temannya itu kan orang luar. Mana bebas kami bercanda kalau ada orang yang baru kami kenal. Belum lagi candaan Bimo, sama sekali tidak menyenangkan.
Sekarang, gadis yang bernama Marsya itu duduk disampingku. Haduh, tambah tidak bisa bergerak rasanya ini badan.
"Di sini berapa hari, Sa?" tanyaku pada Elsa. Yang menjawab suaminya," Malam ini langsung pulang kok, Mas."
"Hah? Gak capek?" tanyaku lagi.
"Mas Bimo sudah biasa nyetir begitu, Mas. Apalagi ada Marsya. Kami tidak ijin menginap sama orang tuanya," jawab Elsa. Yang namanya disebut hanya mengangguk sambil senyum-senyum.
Lah, siapa suruh bawa teman?
"Mungkin lain kali," tambah Elsa.
Hah?! lain kali? Maksudnya apaan ya? Makan malam begini saja sudah bikin aku susah nafas, ini malah mau nginep. Pliss, deh.
"Mau ikut ke Solo, mas?" tanya Bimo.
"Bim, aku ini baru datang. Nyetir sendiri dari Jakarta. Belum istirahat. Barang-barang belum aku bongkar. Sekarang kamu ngajak ke Solo? Kamu pikir aku ga butuh istirahat?"
"Hehehe..iya, mas. Lupa," jawabnya santai.
"Marsya teman kuliah Elsa?" tanya ibu.
"Iya bu," jawabnya gadis itu pelan.
"Marsya ini sempat kerja di Jakarta juga loh, Mas. Tapi cuma setahun terus balik Solo. Lah ngapain kerja jauh-jauh kalau perusahaan papanya saja ga ada yang ngurus," si Elsa ngomong lagi, panjang lebar.
"Ga sempat ketemu Haykal ya?" tanya ayah.
Aduh, ini pertanyaan apa lagi. Memangnya Jakarta seluas Klaten atau seluas desa sebelah sehingga Rubi bisa dengan mudah kenal ayah?
Marsya hanya tersenyum menggeleng.
"Marsya cantik ya, Kal?" kata ibu. Ini pertanyaan retorik. Aku bingung menjawabnya. Aku hanya tersenyum.
"Iya lah, bu. Mantan putri Solo. Masa ga cantik." Ini yang semangat malah si Elsa.
Aku sama sekali tidak bisa menikmati makan malam ini. Aku ingin ini segera berakhir. Aku ingin segera ke kamar. Tapi ternyata aku masih diharuskan menemani Marsya. Ayah sibuk menemani Bagus, Bimo sedang menggendong Dita menggantikan Elsa. Sementara Elsa dan Ibu pura-pura sibuk berbenah alat makan yang kami pakai barusan. Baru kali ini mereka cuci piring saat ada tamu. Biasanya nunggu tamu pulang baru bersih-bersih. Jelas aku semakin curiga dengan konspirasi mereka. Mereka jelas bukan tidak tahu aku butuh istirahat. Mereka jelas sengaja membiarkan ini terjadi. Kesal benar aku.
"Bidang usahanya apa sekarang?" tanyaku basa-basi pada Marsya.
"Oh, keramik," jawabnya pendek. Kelihatan sekali dia sedang membuat image perempuan elegan.
"Dulu kuliah tentang keramik?" tanyaku lagi.
"Ya ga lah mas. Saya anak manajemen seperti Elsa. Jadi saya cuma mengatur bisnisnya saja. Bukan produksi apalagi quality control."
Mulai panjang kalimatnya.
"Kalau mas Haykal?" dia sudah berani balik bertanya.
"Jadi petani," jawabku.
"Keren. Jarang anak muda mau jadi petani." itu respon yang sama sekali tidak aku sangka. Padahal awalnya aku jawab begitu sebagai kode penolakan. Biasanya perempuan model seperti dia tidak akan suka dengan profesi petani. Tapi dia beda.
"Gimana rasanya jadi petani, mas? Pasti damai dan bahagia."
"Belum tahu. Mungkin besok baru mulai," jawabku.
"Hah?!"
"Aku baru resign dari kepala produksi perusahaan tekstil. Baru besok jadi petani."
"Wah, selamat ya mas. Selamat datang di dunia baru. Semoga sukses," ucapnya sambil menyodorkan tangan. Dan aku menyambutnya. Tangannya lembut, sangat.
VOCÊ ESTÁ LENDO
Kalau Sama Aku...., Mau?
General FictionApakah kalian percaya pada persahabatan tulus laki-laki dan perempuan? Aku kok kayaknya tidak.... Mari kita buktikan!