APPOINTMENT

426 69 5
                                    


Sebulan tidak bertemu Anggi jelas memberiku sensasi yang luar biasa. Aku jelas kangen bertemu dengannya. Karena itu, tepat setelah sebulan perjanjian kami, kami bertemu lagi di tempat yang sama.

Aku menunggunya ditempat duduk yang aku pesan, di tempat duduk yang sama yang kami tempati sebulan yang lalu. Begitu aku melihatnya, aku melambaikan tangan. Dia semakin cantik. Aku tersenyum padanya. Tapi dia tidak membalas senyumku. Ada sedikit kecewa di hatiku.

"Apa kabar, Nggi?" sapaku hangat.

Dia hanya mengangkat bahunya. Kemudian duduk di depanku.

"Jadi bagaimana keputusanmu?" tanyanya tanpa basa basi.

Aku terkejut. Wajahnya sama sekali tidak mencerminkan bahwa dia merindukanku.

"Keputusan yang mana?"

"Jangan berbelit-belit deh Kal. Semua keputusan berhubungan. Kalau kamu memutuskan kembali ke kotamu itu artinya kita batal nikah," jawabnya ketus.

"Jadi kalau aku tidak kembali ke Klaten kita bisa menikah bulan depan?" tanyaku, menantangnya.

"Tidak juga. Aku tidak mau secepat itu."

"Jadi artinya aku kembali ke Klaten atau tidak, kita tetap tidak bisa menikah secepatnya kan?" tandasku.

"Tapi setidaknya kita tidak bubar, Kal."

"Maksudmu, lanjut tanpa kepastian?"

Dia menatapku, tajam.

"Aku heran deh, Nggi. Semua perempuan yang aku tahu inginnya butuh kepastian. Ini aku kasih kepastian kamu menghindar."

"Aku tidak menghindar, Kal. Aku hanya menunda."

"Sampai kapan? Sampai karirmu stabil? Kamu tahu bahwa tidak ada karir yang stabil. Setiap saat karir bisa lepas dari tangan kita. Itu yang kamu pikirkan?"

"Maksudmu, tidak akan pernah kepastian dalam hidup? Hidupmu tepatnya?"

"Hidup siapapun, Nggi. Hidupku, hidupmu, hidup semua orang. Kita hanya mengusahakan. Takdir tidak ada yang tahu!"

"Sori Kal, prinsipku beda. Aku akan selalu memperjuangkan kepastian hidup."

Aku terhenyak. Jadi begini akhir dari perjalanan kami. Kami beragama yang sama tapi prinsip berbeda. Selesai! Apalagi yang harus aku perjuangkan. Perempuan yang aku cintai sudah menolakku. Dia ingin berjalan di tapak yang dia pilih. Yang menurutnya benar, menuju kepastian. Tidak adak ada lagi yang harus aku perjuangkan.

Maka keputusanku untuk pulang adalah pilihan yang tepat. Benar kata Sari, aku harus bertoleransi pada orang yang membutuhkan posisi ini. Hanya saja, tidak aku sangka bahwa orang yang sangat menginginkan itu adalah Anggi. Dia terlalu percaya pada dirinya sendiri. Dia tidak percaya padaku. Dia tidak bergeming dari kepercayaan dan kondisi yang kutawarkan. Dia malah mencemooh opsi yang aku tawarkan.

Baik, selesai sudah. Secepatnya akan aku urus kepindahanku ke Klaten. Secepatnya aku harus membuat surat pengunduran diri. Secepatnya aku harus memberi kabar pada ayah. Dan secepatnya aku harus pamit pada Sari, orang yang membukakan mataku.

Kalau Sama Aku...., Mau?Onde histórias criam vida. Descubra agora