SARI

454 72 3
                                    


alhamdulillah sunny. Jadi sebelum jalan-jalan, aku upload dulu. Happy reading....


12. Sari

Siang ini aku mengajak Sari makan di luar. Entahlah, aku hanya ingin ngobrol lebih lama dengannya. Sebelumnya, aku menanyakan kesediaannya makan siang berdua denganku. Dan dia menjawabnya langsung, tanpa pikir panjang.

"Ga ijin pacarmu dulu?"

"Ijin? Buat apa, Pak? Nanti juga saya cerita sama dia kalau bapak ngajak saya makan di luar."

"Kalau dia keberatan?"

"Hak dia apa Pak?"

"Bukannya dia pacarmu?"

"Terus?"

"Masa tidak kamu jaga perasaannya?"

"Itu pertanyaan buat saya pak? Bukan buat bapak?"

Aku tertohok. Anak ini semakin hari semakin pandai membalas perkataanku. Tapi aku tetap pura-pura tidak mengerti.

"Maksudnya, Sar?"

"Yah, bapak kan laki-laki. Harusnya bapak lebih mengerti perasaan laki-laki yang pacarnya diajak makan siang bosnya."

Uhuk! Tertohok dua kali aku.

"Jadi harusnya aku ga ngajak kamu ya Sar?"

"Sebentar pak. Maksud bapak mengajak saya makan siang di luar itu apa? Apa bapak ngajak berbuat sesuatu yang tidak baik sama saya?"

Entah kenapa aku merasa jijik dengan kalimat Sari barusan.

"Idih, ngajak kamu berbuat tidak baik? Buat apa?"

"Makanya pak. Pacar saya itu percaya sama saya dan saya tidak ingin merusak kepercayaannya. Saya tahu bapak orang baik. Makanya saya terima ajakan bapak."

"Sar, pertanyaanku itu tentang kamu yang tidak minta ijin pacarmu."

"Iya bapak, Sari mengerti. Tapi dia hanya pacar, bukan suami. Cukup sampai saling menghormati dan saling menghargai. Ga usah ngatur-ngatur jadwal saya. Saya juga tidak pernah melarang-larang dia kalau pas dia hang out sama teman-temannya."

"Gitu ya Sar?"

"Iya, bapak. Sari sudah bilang kalau siang ini diajak bapak keluar. Pemberitahuan aja. Bukan ijin. Jadi nanti kalau ketemu ada bahan ngobrol."

Kenapa aku jadi belajar dari anak kemarin sore begini ya?

Sampai di sebuah resto, kami menuju meja yang belum aku pesan sebelumnya. Aku mengajak Sari hanya untuk makan siang dan ngobrol saja. Sekaligus berterima kasih dan pamit atas bantuannya selama menjadi asistenku. Nothing special.

"Sar, makasih ya," kataku si sela-sela makan kami.

"Saya kali pak yang berterima kasih. Sudah diajak ke resto mewah begini," jawabnya sekenanya.

"Kalau pacarmu ga pernah ngajak ke resto mewah, kamu marah ga Sar?" tanyaku.

"Masyaallah bapak, buat apa? Saya kan bukan cinta duitnya."

"Apanya dong?"

"Ya orangnya. Orang itu kalau sudah cinta pak, bingung ditanya alasan kenapa mau. Jalan-jalan cuma makan cireng aja saya pernah."

"Hah?! Beneran?"

"Iya bapak. Yang penting kan hati senang. Makan di resto tapi habis itu marahan gara-gara kita dianggap ngabisin duitnya dan jadi rasanan, mending ga usah."

Aku mengangguk-angguk dengan penuturannya. Aku sempat membatin, pernahkah aku merasa begitu sama pacarku? Tepatnya, mantar pacarku. Maksudku, merasa mereka menghabiskan uangku. Atau pernahkah mereka mau jadi pacarku karena statusku. Adakah diatara mereka yang benar-benar menciantaiku?

"Sebenarnya sih pak, saya tidak pernah menuntut selalu dibayari sama pacar saya. Tapi laki-laki kan merasa jatuh harga diri kalau cewek yang bayari," lanjut Sari. Iyakah?

Aku tersenyum melihatnya makan dengan lahap, ga ada jaim-jaimnya. Kulihat di sekeliling para perempuan menjaga sikap saat makan.

"Intinya, aku mau berterima kasih, Sar. Kamu sudah banyak membantu aku selama ini. Sering berbagi pendapat juga sama aku. Dan sempat membuatku berat mau meninggalkan kantor."

"Lho, memangnya bapak mau kemana?" tanyanya dengan mata lebar.

"Kan kamu yang nyuruh aku buka usaha sendiri."

"Jadi pak?"

"Jadi dong," jawabku tersenyum.

Lah kok matanya berkaca-kaca. Kemudian menunduk.

"Saya bakal kangen sama bapak," ujarnya pelan.

Entah kenapa aku jadi trenyuh.

"Undang aku saat kamu menikah ya Sar. Aku ingin memberimu hadiah bulan madu di Klaten," kataku becanda.

Dia langsung mendongak.

"Serius pak?"

Hah?!

Kalau Sama Aku...., Mau?Onde histórias criam vida. Descubra agora