PUISI OH PUISI 2

29 14 0
                                    

Keesokan harinya gue masuk sekolah, dan entah mengapa, Bu Dange menyuruh gue untuk ke kantor. Ternyata setelah gue sampai disana, Bu Dange meminta gue buat ikut lomba puisi. Gue kebingungan, kenapa harus gue yang ikut lomba puisi ?, bukannya seharusnya Obby.

Tapi, Bu Dange tetap memaksa untuk mengikut sertakan gue. Kaget sih, dan gue merasa gak enak sama si Obby. Walaupun begitu, ini juga adalah perintah sekolah, jadi, gue gak bisa berbuat apa- apa. Tanpa basa- basi lagi, Bu Dange langsung meminta ijin ke guru kelas kalo sekarang waktunya bagi gue latihan. Dan, Bu Asti mengijinkannya. Oke sekarang gue, dan Bu Dange pergi ke sd seberang buat latihan bersama mereka. Disana gue gak nyangka, ketika menunggu Bu Dange berbincang- bincang dengan guru sana, pundak gue ada yang menepuk, dan saat itulah gue noleh dan kaget.

"Wa..." Menepuk pundak gue

"Lho Fa.. Lo kok disini ?" Menoleh kaget

"Ya iyalah gue kan sekolah disini, lo ngapain kemari ?" Katanya Enjoy

"Mau ikut bimbingan sih buat lomba puisi"

"Ohh... jadi lo ikutan lomba puisi, Eh Putri gak ikut ?" Rada- rada nyindir

"Nggak. Ngapain lo tanya gitu ?" Menaikkan kedua alis

"Kan lo kemana- mana sama Putri" Senyum- senyum ngehina

"Ah ngaco lo.." Jawab gue sebel.

Lifapun tertawa. Sejak saat itu gue, dan Lifa mulai jadi temen deket. Berawal dari temen satu les, dan juga temen ngobrol waktu gue latihan lomba puisi. Ketika gue boring, dan Lifa lagi pas jam istirahat dia nyamperin gue, dan kita ngobrol sambil bercanda bareng, gue rasa Lifa juga emang temen yang asik.

Selain Lifa, gue juga punya temen cowok disana, namanya Irsyad. Di lebih kecil dari gue, mirip ucok baba. Meskipun dia kecil, tapi dia jago bener ngebaca puisi, Bacotannya ketika ngebaca puisi penuh ketegasan seorang pria. Sedangkan gue, pas baca puisi ngebacot, malah penuh dengan kelembutan seorang wanita. Nggak cuman segi bacotan doang dia unggul, tapi dari segi mimik, dia juga rajanya drama.

Waktu dia ngebaca puisi, kepalanya yang semula tunduk ia naikkan perlahan sesuai tempo, lalu melihat atas, dan dengan bibir nyamuknya dia ngebaca puisi. Penuh banget penghayatan, dan juga kesabaran. Kalo gue sih, nyoba kayak gitu udah ketawa duluan. Yah, emang setiap orang beda- beda. Gue juga punya ciri khas sendiri, serta teknik buat ngebaca puisi.

Tapi walaupun begitu, kami berdua mendapatkan porsi latihan yang sama dan seimbang. Hingga pada H-1, saat Bu Dange gak bisa melihat gue latihan dikarenakan tugas, disitulah kecurangan mulai muncul. Karena pelatih lomba ngebaca puisi adalah guru Irsyad, dia memberi instruksi- instruksi yang menurut feeling gue adalah salah. Tanda baca per bait, puisi yang sebenarnya udah gue cek, dan gue rasa bener ia ubah dengan berbagai macam alasan, Bukan hanya tanda baca, cara ngebaca gue juga dirubah karena katanya kurang. Semakin gue dilatih olehnya, semakin kacau pikiran gue yang mula- mula udah tersusun rapi. Akhirnya gue minta agar istirahat. Gue pergi keluar, dan gue duduk di kursi dekat lapangan, sambil melihat puisi yang tadi telah kacau. Dan, saat gue tertuduk ke bawah Lifa datang.

"Ngapain lo disini, Nggak latihan apa ?" Memberikan gue minuman dingin

"Oh lo Fa makasih.. Udah kok ini lagi istirahat" Menatap ke atas

"Kok kelihatannya lo gak baik- baik aja" katanya sambil duduk di dekat gue

"Gak kok gak ada apa- apa" menyembunyikan sesuatu

"Coba gue cek.." Mengambil minuman gue lalu menempelkannya ke jidat gue. "Gimana udah mendingan ?.." Tangganya masih menempel di minuman gue.

"Udah agak mendingan sih" Terbata- bata sambil ngelihat dia

"Nih lo pegang sendiri masa gue terus yang harus megangin" Melepaskan tangannya ke minuman gue. "Ups" Mengambil minuman yang jatuh ke kursi lalu menempelkan ke jidat.

"Gue tahu kok wa emang Bu guru itu kayak gitu. apalagi kalo itu adalah anaknya" Memegang erat minumannya lalu menenggaknya perlahan

"Oo jadi Irsyad itu anaknya Bu guru yang nglatih gue barusan. Pantes aja" Membuang muka sebal.

"Tapi kalo gue jadi Guru itu gue bakalan milih lo.." kata Lifa sambil Menenggak air mineral itu sampai habis

"Maksud lo ?" Bingung.

"Ahh" jam istirahat udah abis gue masuk kelas dulu" Kata Lifa mengabaikan gue.

"eh tapi" Kata gue mencoba mencegahnya.

Dan, dia sudah pergi ke kelas tanpa menghiraukan gue. Nambah beban aja nih si Lifa, bikin gue bingung apa maksudnya. Dari pada bingung mikirin Lifa, gue mencoba fokus lagi ke puisi, dan sekarang gue jadi lebih encer berfikir, mungkin gara- gara Lifa yang tadi ngasih air mineral ke jidat gue. Hari itu, setelah gue udah benerin semuanya yang semula kacau, gue pulang tanpa pamit, karena gue udah sebel sama mereka.

Esok harinya, gue berangkat buat lomba di aula kota. Gue di anter sama Bu Dange ke sana naik motor beatnya. Sebenarnya sih, gue pengen cerita soal kemarin sama Bu Dange, tapi, gue urungkan niat tersebut, sepertinya saat gue menceritakan hal kemarin dia gak mungkin mengerti. Lagian toh kalo gue cerita, gue takut hubungan Bu Dange sama guru sd seberang bakalan renggang.

Jadi, lebih baik gue gak cerita aja, apalagi kemarin juga udah berlalu, dan gue udah bisa mecahin masalah tersebut sendiri. Disela- sela persiapan gue mau tampil, sesekali gue membaca naskah berkali- kali. Kadang juga gue komat- kamit doa, biar gak nerfes waktu di panggung. Saat gue lagi sibuk sendiri nyiapin diri buat tampil nanti. Giliran Irsyad maju kedepan akhirnya datang. Dari tampangnya ia santai sekali, sepertinya dia tahu, kalo dia bakalan menang. Penampilannya juga memukau juri, sepertinya dia memang bakalan menang. Dan, saat ia selesai, dia tak bertegur sapa dengan gue, gue rasa sekarang gue udah tahu sifat sebenarnya dia.

Setelah Irsyad, giliran gue tiba, meskipun dengan keadaan nerfes yang setengah mati, gue berjalan diatas panggung. Dengan satu tarikan nafas panjang, gue mulai membaca puisi, dewan juri melihat mereka siap menggunakan bulpennya untuk menilai. Lantang, dan tegas gue ngebaca puisi, sesekali melangkah dengan penuh penghayatan, yah gue tahu kalo gue gak bisa sebagus Irsyad, tapi disini biarkanlah gue mencoba untuk menyamainya.

Suatu ketika, gue melirik ke arah penonton, dan disana gue melihat Kakung, dia memberikan semangat ke gue. Dan, mudah- mudahan gue bisa membalas penyemangatannya dengan hasil juara. Selesai membaca, juri memberi tepuk tangan diselingi tepuk tangan juga dari penonton. Gue memberi hormat, lalu pergi turun dari panggung. Di backstage, gue udah lemes kringet dingin, dan disana ada Bu Dange

"Good, Job !" Memnepuk pundak gue dan memberikan aplous

"Thanks bu, kayak mau copot aja nih jantung" Gemetaran

Bu Dange lalu mengajak gue untuk duduk di ruang tunggu, sembari ia memberi gue air mineral botol dingin yang ia beli dari luar. Gue ingat saat itu juga, Lifa memberikan minuman ke gue. Air mineral dingin itu kemudian gue tempelin ke jidat, dan gue berseru "ahh... leganya".

Pada saat itu juga Bu Dange ngelihat gue dengan alis kanannya terangkat ke atas. kemudian pengumuman dibacakan, para peserta banyak yang cemas dengan hasilnya, begitupula dengan gue. Di loudspeaker satu nama dibacakan, dan dia mendapatkan juara 3, kemudian setelah itu nama gue dibacakan gue mendapat juara 2. Dan, yang terakhir Nama Irsyad dibaca keras sekali, menandakan ia menyabet juara 1 lomba puisi tersebut. Gue mengakui kemampuannya, yang penting gue udah berusaha dengan baik. Irsyad akhirnya menjadi perwakilan kota, untuk berlomba di tingkat provinsi.  

LONJONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang