22 [Akhir kah?]

675 54 0
                                    

Alicia terdiam di sepanjang harinya. Matanya memerah, entah sudah air mata keberapa yang menetes. Ia kalut seharian, ia bingung harus bagaimana menyikapi ini semua. Ia menggenggam erat ponsel yang ia bawa. Sedari tadi, dirinya membuka halaman chat dirinya dan Yoshua. Menulis menghapus, menulis menghapus, hanya itu yang ia kerjakan.

"Sayang?" ucap mamanya menyadarkan Alicia. Dengan cepat ia menghapus air mata yang masih sedikit tersisa, menatap mamanya dan berusaha tersenyum.

"Iya ma?"

Mama Alicia menghampiri Alicia, mendudukan dirinya tepat di samping anak gadisnya, membawa Alicia untuk tertidur dipangkuannya.

"Kamu kenapa sayang?"

Alicia hanya terdiam mendengar pertanyaan sang mama. Bercerita kah? Atau enggak. Sungguh dirinya sekarang bingung apa dan bagaimana statusnya dengan Yoshua. Ucapan Yoshua semalam seakan-akan ingin memintanya untuk bebas, tetapi seakan-akan, ia sangat ingin memeluk dan Menggenggam Alicia.

"Suatu hubungan, harus saling terbuka bukan? Selama apapun suatu hubungan, namun kalau masih menyembunyikan suatu hal, entah kecil atau besar, itu juga akan menimbulkan masalah."

Air mata Alicia menetes, sungguh tanpa dirinya bercerita apa masalahnya, mamanya sangat paham apa yang sedang Alicia rasakan. Mama adalah orang yang sangat peka akan perubahan kedua putrinya. Mungkin, karena sama sama pernah ada di posisi Alicia saat ini.

"Abang marah ma, karena Andreass. Padahal mama tahu, Cia enggak ada hubungan apa apa sama dia. Tapi kenapa dia sampe semarah itu? Cia udah ngomong berkali-kali, sama aja ma. Sekarang, Cia enggak tau apa status kami. Seakan akan dia membiarkan cia bebas, tapi seakan akan dia juga mengikat cia."

Mamanya mengelus lembut puncak kepala anak gadisnya ini. Menenangkan fikirannya, mencoba memyembunyikan kecemasan dalam diri Alicia. Alicia sudah mennagis, membiarkan air mata itu membasahi paha mamanya.

"Kamu tahu sayang? Dulu ayah kamu sangat marah kalau tau mama jalan sama pria lain. Dulu ayahmu samgat marah, kalau mama tertawa bahagia dengan pria lain. Tapi saat mama tanya kenapa ayah semarah itu? Jawaban dia sangat simpel, dia takut, takut kalau mama sampai lupa sama ayah, takut kalau mama memilih pergi dan meninggalkan ayah.

"Abang kamu, dia sering sekali menghubungi mama, bertanya tentang dengan siapa dan lagi apa kakak kamu. Bukan, bukan abang tidak percaya kalau itu yang ada di fikiran kamu. Tapi itu tadi, abangmu takut kalau suatu saat kakak menemukan pria yang membuatnya bahagia setiap hari, sedangkan dia? Dia tidak bisa memberikan waktunya."

Alicia mendengarkan mamanya dengan air mata yang masih menetes, dengan fikiran yang masih berkelana menemukan jawaban dari apa yang mamanya sampaikan.

"Dan itu yang ada di fikiran Yoshua." Mama Alicia menatap anak gadisnya dengan dalam. Kasih sayang mana yang melebihi kasih sayang seorang ibu? Dia bisa tahu apa yang anaknya rasakan tanpa harus mendengar anaknya bercerita, ia akan merasakan sakit ketika anaknya dalam kesusahan.

"Kamu pernah bercerita tentang Andreass ke Yoshua?" Alicia menganggu pelan.

"Pernah mengatakan kalau pergi dengan Andreass?" Alicia menggeleng.

"Pernah izin kalau mau pergi?" Alicia menggeleng lagi.

Mamanya tersenyum kecil, "menceritakan hal kecil emang terlihat sepele sayang, tetapi dalam hubungan seperti ini, menceritakan segala hal adalah yang terpenting. Meskipun terkadang itu menyakitkan, tetapi jika suatu saat ada hal yang enggak diinginkan terjadi, akan ada tameng untuk melawannya."

Mama Alicia mengangkat kepala anak gadisnya untuk duduk menghadap dirinya. Menghapus pelan air mata yang masih tersisa.

"Jangan pernah berfikir kamu berjuang sendiri, dia di sana juga berjuang. Bukan saatnya kalian berfikir pendek untuk masalah seperti ini. Selesaikan secepatnya. Mama tahu, anak mama sanggup menyelesaikan ini," ucap mamanya dan pergi meninggalkan Alicia.

Alicia merasa ada hal yang hilang dari kebiasaannya. Bahkan, di hari Rabu seperti ini, biasanya ada sosok yang membuatnya selalu tersenyum. Hari sepeerti itu, biasanya Yoshua selalu mengirimkan puluhan sms, atau bahkan menelfonnya berkali-kali. Saat ini semuanya kosong. Ponsel Alicia mendadak menjadi seperti kuburan.

Ia bingung, bagaimana? Dan apa? Bagaimana ia harus menyikapi semuanya? Dan apa yang bisa ia lakukan? Pertanyaan pertanyaan itu selalu muncul di benak Alicia.

"Abang kemana? Kenapa bang?" Alicia menangis dalam pelukan big tedy pemberian Yoshua.

'Tapi yasudah, seperti yang kamu bilang, kita sudah sama sama dewasa. Yang harus kamu tahu, kemanapun kamu pergi dan dengan siapapun, aku tetap akan memperjuangkanmu, dan tempat terakhir kamu akan sama aku. Anggap ini sudah selesai ya dek, hp aku tetep bisa kamu kirimi sms kok apaoun masalah kamu, meskipun aku enggak balas tapi aku pasti baca. Jangan takut buat cerita semuanya, aku masih terbuka buat kamu.'

Ingatan akan apa yang Yoshua ucapkan terakhir kemarin membuat dirinya bisu seribu kata. Air mata itu tak kunjung mau untuk berhenti, pikirannya tak kunjung menemukan hasil, semuanya mendadak hancur.

Ia menatap ponselnya nanar, membuka kolom chat dirinya dengan Yoshua. Tidak ada chat, hanya kata 'hati-hati' yang terakhir muncul di beranda chat itu. Ingin rasanya ia mengirimkan sesuatu, ingin rasanya ia membicarakan banyak hal dengan Yoshua. Namun ia takut, takut akan apa yang Yoshua respond, takut akan membuatnya semakin terluka.

Ketik, hapus, ketik, hapus, begitu seterusnya. Ia merasa dirinya tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Dirinya bodoh dalam menghadapi masalah ini.

"Masalah ini harus selesai. Aku sayang kamu bang."

Dengan tekad, ia memberanikan diri mengirimkan sebuah chat untuk Yoshua. Entah apa yang ada difikiran Yoshua nanti. Ia tidak memperdulikan itu, yang saat ini ia fikirkan adalah, hubungannya membaik, itu saja.

***

Alicia duduk di depan ruang tv, menyaksikan acara televisi yang semakin hari semakin tidak ada yang menarik. Ia mengambil bola basket yang ada di ujung ruangan ini. Basket adalah pelepas penat.

Ia mendrible dan melempar asal bola itu. Tidak ada satupun bola yang masuk ke dalam ring. Fikirannya kalut.

"Kalau enggak dari hati gak usah di mainin bolanya."

Alicia menoleh ke arah seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut.

"Ci, emosi itu gak nyelesaiin masalah. Kalian berdua itu lagi sama sama emosi."

Alicia melempar asal bola basket itu, dan mendudukkan dirinya di lapangan yang sedikit basah itu.

"Gak ada hasilnya bang, sama aja."

"Ini nih, jawabannya sama. Gak kamu gak dia, sama sama bego."

"Ai, ngebicarain hal kayak gini kalau sama emosi itu enggak aakan ada ujungnya. Dia salah aku tau itu, tapi kamu juga bukan berarti benar dalam masalah ini. Selesaiin Ai, kamu jelek kalau kayak gini." Keyla mencubit hidung Alicia.

Iya, Keyla dan Viko menghampiri Alicia, mengingat rumah nenek Alicia tidak jauh dari Akademi. Bertepatan saat ini adalah jam pesiar. Mereka berdua sangat mendukung hubungan Alicia dan Yoshua.

"Oke gini deh, aku gak bisa minta kalian ketemu saat ini, mengingat emosi kalian masih ada di puncak dan Yoshua juga sekarang jaga. Minggu depan ada cuti, cari cara. Kamu besok pulang Jakarta kan? Kumpulin keberanian kamu. Kalau bukan si bego itu yang mulai, seendaknya kamu yg berusaha nyairin suasana."

Viko meraih bola basket yang tergeletak di samping Alicia.

"Gak usah galau, main yuk."

Love Between a Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang