"Hanya sebuah senyuman singkat darimu mampu membuatku merasa bahagia. Jadi, tolong tetaplah tersenyum seperti itu walaupun senyuman itu tidak sepenuhnya milikku."
~Jingga dan Senja~
"Jingga!" panggil Bella ketika melihat Jingga sedang berjalan dengan salah satu temannya.
Entah apa yang ia katakan kepada temannya hingga membuat mereka berjalan meninggalkan Jingga. Mungkin saja Jingga menyuruh temannya itu pergi. Ah, sudahlah itu juga tidak terlalu penting untuk Bella.
"Tumben manggil gue, kangen, ya?" tanya Jingga sembari menampilkan senyuman manis yang selalu saja ia tunjukkan kepada Bella.
"Lo kemarin ke mana?"
"Perhatian banget, deh. Jadi gemes!" Jingga mencubit pipi Bella pelan. Namun, Bella menepis tangan Jingga.
"Lo kemarin ke mana?"
"Kemarin itu gue abis pergi sama temen gue terus abis itu gue mau nemuin seseorang dan tiba-tiba ada pihak rumah sakit nelepon gue katanya sahabat gue baru aja kecelakaan. Terus, ya...gue langsung aja pergi ke rumah sakit buat mastiin kalo keadaan dia baik-baik aja," tutur Jingga dengan santainya yang membuat Bella geram. Bagaimana bisa ia mengungkapkan semua kejadian itu dengan sangat santai? Padahal, jelas-jelas ia sedang berbicara dengan orang yang ingin ia temui kemarin. Apakah ia lupa bahwa seseorang yang ingin ditemuinya adalah Bella?
"Terus lo nggak ada niatan buat balik ke tempat janjian itu lagi gitu buat nemuin seseorang yang lo maksud itu?" tanya Bella dengan memberi penekanan pada kata 'seseorang'.
"Tadinya, sih iya cuma gue nggak tega kalo harus ninggalin dia sendiri, walaupun sikap dia masih cuek sama gue, sih."
"Oh...gitu, ya?"
Jingga menganggukan kepalanya dengan antusias sembari memasang wajah melas. Bukannya kasihan justru Bella ingin sekali mencabik-cabik wajah melas yang dibuat-buat oleh Jingga.
"Sedih banget 'kan gue? Padahal tuh, ya, dulu gue deket banget sama dia. Bahkan, dia tuh nggak bisa jauh sedikit aja sama gue. Dia itu ibarat upil dan gue hidungnya. Jadi, ya...pasti nempel mulu, 'kan? Tapi, nggak tahu kenapa tiba-tiba dia jadi cuek gitu sama gue."
"Udah curhatnya?"
"Masih pengen, sih, cuma nggak tahu mau curhat apa lagi."
"Menurut lo gue harus curhat apalagi, Sen?"
"Ya udah, kalo nggak tahu mau curhat apa lagi mending lo diem! Biar gue yang curhat sekarang."
"Silakan, Tuan Putrinya Jingga."
"Jadi, tuh, ya, kemarin ada yang ngajakin gue ketemuan. Nggak tahu dia mau ngomongin apa. Tapi, berhubung lokasi yang mau dijadiin tempat ketemuannya itu nggak jauh dari tempat gue beli buku akhirnya gue mau 'kan, ya, diajakin ketemuan ama dia."
"Oke, oke, lanjutin! Kayaknya seru, nih, curhatannya."
"Terus dia bilang katanya lima menit lagi dia sampe. Ya udah gue tungguin aja 'kan, tapi ternyata gue udah nungguin selama satu jam, bahkan lebih—dia nggak dateng-dateng juga dan dia juga nggak ngerasa bersalah banget gitu. Menurut lo enaknya dia diapain, ya?"
"Pukul aja pukul atau cubit 'kan lo galak jadi pasti cubitan lo mantep 'kan panas-panas, perih-perih, gimana gitu kali, ya?"
"Cubit lebih enak kali, ya?"
"Nah, iya tuh cubit aja yang kenceng biar tahu rasa. Bisa-bisanya dia bikin Tuan Putri nya gue nunggu lama-lama."
Lantas, pada detik berikutnya Jingga berteriak refleks. "Kenapa jadi gue yang dicubit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga dan Senja [SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] SUDAH TERBIT, PART LENGKAP! Langit senja yang kerap kali menampilkan warna jingga yang indah kala itu terlihat begitu polos. Tak ada lagi jingga yang menghiasi langit senja tersebut namun itu bukan akhir dari perjalanan kita...