11. The Wolf

706 40 0
                                    

Seorang gadis nampak tengah berdiri di antara ribuan manusia yang tengah berdesakan dalam suatu alun-alun. Sang gadis itu memilih duduk pada sebuah pohon yang telah tumbang di pinggir kerumunan.

Tangan mungilnya ia gunakan untuk menyibak gaun biru langit selututnya ke arah samping. Manik birunya kini tampak menerawang pada angkasa. Suara ribut di sekitarnya tak lagi ia gubris.

Fikirannya kembali mengenang pertemuan pertamanya dengan seorang gadis. Gadis dengan aura yang tak kalah dingin darinya.

Yang berada di antara bayangan yang penuh akan kegelapan dengan segala hal keji yang menyertainya. Dia yang penuh dengan kekejaman dan dosa. Dia yang melindungi hal besar dari balik layar berkedok kejahatan.

Gadis dengan segala hal kelam bersamanya itu, telah hidup lebih lama darinya. Menghadapi lebih banyak hal. Ia begitu menyukai kesendirian dalam kegelapannya yang menelan segalanya. Namun ia masih memiliki cinta yang hangat bagi orang tersayangnya. Ialah satu-satunya yang dapat ia panggil sebagai seorang sahabat.

Gadis itu menghela nafas berat. Manik birunya kini terpejam erat. Tangannya saling mengepal tatkala ia mencari setitik kehangatan dalam hatinya.

Tak ada.

Hanya ada kebekuan abadi dalam hatinya. Membuatnya hanya dapat merasakan kesepian yang mendalam. Membuatnya tak pernah bisa mengecap kehangatan sebuah cinta dan kasih sayang. Bahkan air mata pun ikut membeku dalam kebisuannya.

"Nona? Nona, anda harus segera kembali. Anda ingat bukan jika hari ini adalah hari kelahiran adik anda?" tanya seorang lelaki dewasa dengan sopan.

"Ya." jawab gadis itu singkat seraya berdiri dan beranjak pergi.

"Bahkan di antara para manusia ini pun aku tak pernah merasa hangat." batinnya menyendu.

Gadis itu kini berjalan memasuki kawasan hutan terselimut salju. Di depannya seorang lelaki dewasa memimpin jalan. Sesekali lelaki itu menoleh pada nonanya dengan tatapan sendu.

Kaki-kaki kecilnya berhenti di depan sebuah hamparan salju putih. Gadis itu kembali meneruskan langkahnya dan berhenti di ujung padang.

"Dulunya ini padang bunga yang indah. Namun sekarang hanya ada salju yang menutupinya." ujarnya dengan nada dingin.

Gadis itu hanya duduk di sana sambil menerawang langit yang kian meredup. Di belakangnya, pelayan kepercayaannya berdiri menanti sang majikan.

Tepat saat cahaya sang surya berubah kemerahan di ufuk barat, setetes cahaya merah turun dari angkasa. Menetes di depan gadis itu. Menembus timbunan salju tebal hingga memberikan sebuah celah bagi tanah.

Tak lama sebuah cahaya merah terang turun ke hadapan gadis itu. Turun dengan anggunnya di atas timbunan salju. Sebuah cahaya yang kian membesar.

Membesar dan menghangat hingga salju di sekelilingnya ikut menguap. Gadis itu terpana. Maniknya mengerjap beberapa kali saat kulitnya terterpa sentuhan yang begitu hangat.

Hingga cahaya itu mulai meredup dan meninggalkan sesosok bayi laki-laki. Ia duduk di antara tanah yang kini telah tertumbuhi rerumputan hijau segar.

Manik emasnya menatap riang ke arah sang gadis. Tangan mungilnya terulur hendak meraih sang gadis. Rambut merahnya berkibar seiring gerak aktifnya.

Sebuah bunga mawar biru tiba-tiba tumbuh di depan bayi itu. Terus tumbuh dan mekar dengan indahnya. Bunga pertama yang mekar di tanah itu setelah sekian lama.

Bayi laki-laki itu mengambil mawar di depannya dan memberikannya pada si gadis. Gadis itu tersenyum dan menerima pemberian itu.

Dengan pelan ia menggendong bayi laki-laki yang entah anak siapa. Lagi-lagi gadis itu terpana. Tubuhnya menghangat bersama hatinya yang merekah tatkala melihat tawa riang bayi dalam gendongannya.

Crystal Series 1: The Legend of Ten Crystals✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang