7. Someone with Silver and Indigo

935 47 9
                                    


Author's Pov

Sebuah perpustakaan besar di Kanada terlihat sepi oleh pengunjung. Hanya ada beberapa remaja yang duduk di sana. Salah satunya adalah seorang remaja bernama Levin Matthew.

Ia memiliki rambut pirang bergelombang dengan lensa mata merah maroon. Tubuhnya tak terlalu tinggi dengan balutan kulit putih. Ia sangat menyenangi saat-saat membaca buku di perpustakaan besar ini.

Tak tanggung-tanggung hampir setengah buku di perpustakaan itu telah rampung ia baca. Semua yang telah ia baca itu kemudian terpatri di dalam otaknya. Maklum, Levin memiliki IQ 250. Membuatnya merasa bosan bersekolah dan memilih membaca di perpustakaan. Pelajaran yang diajarkan di sekolah menengah atasnya terkesan terlalu mudah baginya. Hingga ia berencana meminta axelerasi.

"Attention, please! For Mr. Matthew-" suara nyaring dari sebuah son sistem yang terpasang di hampir seluruh sekolahnya membuyarkan konsentrasi Levin.

Ditambah namanya dipanggil ke ruang Mr. Edward, wali kelasnya. Ia yakin, ia akan mendapatkan hukuman dengan tak mengumpulkan tugas tepat waktu dan meninggalkan kelas tanpa izin.

Levin membereskan bukunya. Beberapa buku yang telah ia baca ia kembalikan ke tempatnya. Sementara yang lainnya ia bawa ke tempat petugas. Ia mengisi formulir peminjaman buku dan melenggang menuju ruang gurunya dengan santai.

Levin membuka pintu pelan dan mendapati Mr. Edward telah menunggunya. Mungkin ia tak seharusnya berbincang-bincang dengan Steven, penjaga perpustakaan.

"I am, Sir."

"Mr.Matthew, mengapa kau meninggalkan kelas lagi?" tanya Mr.Edward memulai interogasinya.

"Saya bosan."

"Aku tahu kau bosan. Tapi bukan berarti kau bisa meninggalkan kelas begitu saja."

Mr.Edward menghela nafasnya kasar. Entah hal ini sudah yang ke berapa. Hampir setiap hari ada saja guru yang melapor padanya. Memang Levin berbeda dari anak-anak pada umumnya, namun ia harus sebisa mungkin menyamakan dirinya dengan murid yang lain.

"Apakah hanya itu? Kalau begitu saya permisi."

"Masuklah ke kelasmu, Levin. Duduklah di sana setidaknya sampai bel pulang." ujar Mr.Edward seraya memijat keningnya.

"Baik. Saya akan duduk di sana."

Mr.Edward memandangi Levin yang berjalan perlahan sambil menenteng tas berisi bukunya. Ia bahkan tak pernah membawa buku pelajaran sebab seluruh materinya telah ia hafal. Sangat jarang ada anak dengan tingkat setinggi Levin.

Sejak Levin menginjak bangku sekolah menengah pertama, bakatnya telah muncul. Ia bisa dengan mudah menyelesaikan berbagai soal dan lulus dengan nilai sempurna di seluruh tesnya. Saat itu, Levin belum menyendiri seperti sekarang, ia masih bisa berbaur dengan teman-temannya yang lain.

Dan suatu hari dengan tak sengaja Mr.Edward memergoki Levin yang menguping pembicaraan teman-temannya.

"Kita tak perlu mengerjakan soal-soal ini jika kita punya Levin."

"Benar."

" Aku heran padanya. Dia memiliki kepintaran tinggi, namun tak memiliki penalaran yang sepadan."

Crystal Series 1: The Legend of Ten Crystals✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang