24. The King of Destiny-Epilog

625 27 0
                                    

Author's Pov

Akame tersadar dari renungannya tatkala cipratan darah segar menghantam wajahnya.

Mendengus, Akame mengusap wajahnya kasar sembari melirik ke arah depan.

Dahinya mengernyit menatap Zenden, Zyden, dan Hyden yang tersungkur, berlumuran darah. Dan tak jauh dari mereka, Zacken berdiri tegap membelakangi Akame dengan berpunggung tangan.

Pemandangan yang familiar baginya.

Merasakan kehadiran lain, Zacken membalikan tubuhnya. Kedua ayah anak itu saling menatap tajam satu sama lain.

Menilai satu sama lain. Mengintimidasi lawannya, berharap lawannya mundur.

"Kau begitu lama, Meyroz." Ujar Zacken remeh.

"Mengapa? Apa kau berencana segera menghabisi ku, Ayah?" Balas Akame sinis.

"Memang itulah tujuanku. Kau adalah batu penghalang terbesar untuk rencanaku."

"Ayah berucap seakan mampu mengalahkan ku. Tidak ingatkah Ayah akan kekalahan telak dahulu?" Akame tertawa remeh.

"Itu jugalah yang akan terjadi saat ini." Sambung Akame.

Gadis itu menyentakan tangannya, sedetik kemudian sebuah pedang hitam telah digenggamnya erat.

Mata Akame berkilat sebelum menerjang Zacken. Zacken menghindar. Tak ingin kalah dikerahkannya kekuatannya hingga membentuk pedang yang tak kalah kelam.

Dan dentingan pedang membahana, membelah sunyi. Percikan-percikan bunga api muncul tiap kali kedua pedang beradu.

Akame tak segan-segan mengerahkan seluruh kekuatannya. Membuat Zacken sedikit kewalahan, namun dengan pengalamannya ia mampu mengimbangi Akame.

Di antara dentingan pedang yang beradu, kenyataan pahit kembali menampar Akame.

"Kau tak lebih dari sebuah boneka tanpa jiwa. Jiwamu telah pergi, Meyroz. Dan kaulah yang menjadi penyebab kepergiannya. Selamanya!" Zacken berucap lantang.

Adiknya telah tiada.

Akame goyah. Pertahanannya mengendur. Zacken menyerang Akame lebih intens berhasil menggores kulit putih Akame.

Akame menunduk, kilasan kematian adiknya kembali menerpanya. Kalimat terakhir adiknya. Ucapan sayang dan selamat tinggal adiknya mengiris hatinya.

Hati yang akhirnya dapat Akame miliki setelah sekian lama. Kenyataan bahwa ia sendirilah yang membunuh adiknya menambah sakit hatinya.

Semuanya tak lepas dari pengamatan Zacken. Sebagai seseorang yang telah lama hidup, Zacken paham kegundahan Akame sekarang.

"Apa kau sedih, Meyroz? Apakah kau menangis? Apa kau menyesalinya?" Zacken bertanya sinis. Tampaknya ingin menjatuhkan mental Akame.

Akame mendongak. Menatap balik Zacken dengan amarah yang meletupkan dadanya.

"Aku tak pernah menyesalinya. Lebih baik adikku mati daripada hidup penuh penyiksaan." Jawab Akame dingin.

Bersamaan dengan jawaban dinginnya Akame mementakkan serangan Zacken. Melayangkan serangan fatal pada lehernya.

"Aku sedih. Aku marah. Aku menangis. Hanya untuknya. Tapi tak sedetikpun aku menyesalinya."

Akame menyambung seiring tubuhnya yang bergerak ringan menyerang Zacken.

Zacken terkekeh disela serangan Akame. Kepalanya ia geleng-gelengkan memandang Akame.

"Seperti itulah logikamu, Meyroz. Kau akan dianggap kejam oleh orang lain." Ujar Zacken.

"Siapa yang peduli pada pikiran orang lain? Biarkan mereka berpikir sesukanya aku tak peduli."

Crystal Series 1: The Legend of Ten Crystals✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang