Athena berjalan menyusuri lorong setelah keluar dari elevator. Wajahnya berseri-seri, tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang yang sangat dirindukan. Betapa bahagianya Athena, akhirnya penantian hari demi harinya itu akan segera terbalaskan.
Kakinya terhenti tepat di depan sebuah penthouse di puncak gedung apartemen. Perempuan itu mencoba menghubungi ponsel Jonah, tapi tidak ada jawaban. Beberapa kali berusaha mengirimkan pesan juga masih tak berbalas. Setengah jam lalu Athena sudah memberitahu Jonah kalau pagi ini dia akan datang sesuai perjanjian. Tapi belum juga terlihat sedikitpun tanda-tanda kehidupan darinya.
Berhubung biasanya Athena boleh masuk dengan leluasa ke dalam penthouse Jonah, akhirnya Athena memutuskan untuk membuka pintu kayu coklat yang berdiri di depannya. Ruangan megah di dalam terlihat sepi. Bahkan gordyn krem masih menutupi jendela kaca di baliknya. Hanya nampak sinar matahari menembus ventilasi dan cahaya chandelier kristal di langit-langit yang belum dimatikan.
Athena melangkah di atas pualam marmer menuju jendela. Dibukanya tirai yang menutupi jendela tersebut, langsung menampakkan pemandangan ibu kota dari lantai dua lima puluh delapan. Perempuan itu memutar arah badannya menuju kamar Jonah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri, berniat untuk membangunkan Jonah yang sekiranya masih tertidur.
"Mr. Marais, wake up babyy" ucap Athena sumringah, memutar kenop pintu kamar Jonah.
"I really miss...y---
Kalimatnya terpotong paksa ketika pandangannya terkunci pada pemandangan keramat di dalam kamar. Ponsel yang semula ada di genggaman, jatuh beradu dengan lantai dingin tempat di mana kaki Athena yang melemas berpijak. Seolah ada petir berkekuatan tak terhingga menyambar dirinya. Air mata itu pecah. Bukan, bukan air mata pelepas rindu. Tapi air mata penuh kekecewaan. Athena merutuki dirinya sendiri, andai saja dia bisa menangis darah, dia akan menangis sejadi-jadinya.
Pecah tangis itu menderas. Spontan membangunkan Jonah dari bunga tidurnya. Athena bungkam dengan kedua telapak tangan gemetar menutupi bibirnya. Sudah diyakini beratus ribu persen kalau yang dia lihat dengan mata telanjang itu sama sekali tidak salah. Bahkan dia tidak sedang bermimpi karena rasa sakit hati ini nyata seperti tersayat-sayat.
Melihat Jonah tidur dalam posisi satu balutan selimut bersama seorang perempuan dalam pelukannya. Kalau kalian tau, Athena tidak akan berpikiran seburuk ini kalau saja tidak melihat keduanya dalam keadaan naked.
"Athena!?"
Jonah mengusap matanya beberapa saat. Lelaki pemilik bola mata biru kehijauan itu terkejut melihat keberadaan Athena yang sedang berdiri mematung di ambang pintu. Dalam keadaan nyawa yang belum seutuhnya terkumpul, Jonah segera memakai boxer yang dia buang ke atas lantai semalam, kemudian berlari kecil menghampiri Athena.
"You lie, Jonah" cepat-cepat Athena berbalik badan sebelum Jonah meraihnya.
Athena berlari sekuat tenaga berusaha meninggalkan penthouse. Tapi langkah itu sudah lebih dulu tertahan oleh tangan-tangan kekar yang menarik tubuhnya ke dalam dekapan. Jonah memeluk Athena sangat erat hingga gadis malang itu berhenti memberontak dan hanya bisa menangis pasrah.
Athena, gadis yang bernasib buruk pagi ini bisa mencium jelas aroma minuman keras dari nafas Jonah yang menerpa permukaan wajahnya. Athena semakin yakin akan apa yang Jonah perbuat semalam. Semua kejadian keji dibaliknya, melukai hati kecil Athena yang terlalu polos untuk disakiti.
"I hate you." Athena mendorong kuat tubuh Jonah yang pada akhirnya melepaskan pelukan itu.
Athena menatap Jonah kecewa, marah, sedih, semua perasaan sukses melilit dadanya hingga sesak. Tidak habis pikir, Athena kenal betul siapa perempuan yang ada di kamar Jonah. Dan Athena tidak tau lagi alasan apa yang akan Jonah terangkan setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Start Over ° Reece Bibby
Fanfiction• "Gue emang nggak mungkin ngeganggu hubungan mereka, tapi lebih nggak mungkin lagi kalau gue terus-terusan sayang sama perempuan milik orang lain." ▪"Tapi nggak selamanya dia akan terus menjadi milik orang lain, kan?"