Jika ada hal yang paling indah di dunia ini bagi manusia, mungkin itu cinta.
Jika ada hal yang mampu membuat seseorang berubah drastis, mungkin itu cinta.
Jika ada hal yang mampu menyembuhkan luka, mungkin itu cinta.
Jika ada kekuatan dahsyat yang mampu mewarnai langit suram dengan pelangi, mungkin itu cinta.
***
Cinta yang hangat dan mampu merubah warna langit dunia Rani, belum pernah ia rasakan. Ia selalu hidup di bawah langit gelap. Siang yang suram dan malam mencekam.
Seluruh dunianya sesuram senja dipayungi mendung tebal. Ia tertawa, ia berbaur, ia bicara, tapi semua hanya cangkang. Sejati dirinya terkubur dalam rasa takut dan mengubur dirinya semakin dalam.
Rani membulatkan matanya dengan mulut terbuka. “Dok, jangan kepedean, deh. Aku memang menyukai Yang Se Jong, tapi Dokter Yang jadi pacarku? Mungkin itu harus menunggu satu abad ke depan”
“Kenapa begitu?” protes Radit.
“Karena aku tahu kau cuma membual!” semprot Rani.
Dokter Yang terbahak sambil mengusak rambut pendek Rani. Sepintas ia melihat bandul kalung Rani yang terbuat dari gunting kuku. “Kau masih memakai bandul itu?” tanyanya.
Rani menunduk menatap bandul kalungnya. “Ya.”
“Kebetulan kalau begitu, tolong potongin kukuku.” Radit menyodorkan kesepuluh jemari tangannya.
“Memangnya aku Ibumu? Kenapa aku harus melakukannya? Lagipula kenapa kau ini jorok sekali? Kau kan bisa memotongnya seminggu sekali! Kalau aku jadi orang lain, aku tidak akan menyerahkan hidupku pada Dokter semacam dirimu ini, merawat diri sendiri saja tidak bisa,” gerutu Rani sambil mulai memotong kuku jemari tangan pria di sampingnya.
Radit hanya nyengir saja. Sebetulnya bukan dia malas memotong kuku, dia sengaja memanjangkan kukunya sebelum bertemu dengan Rani. Dia akan menjadikan pertemuan mereka sebagai terapi, secara perlahan dan tanpa Rani sadari.
Rani sangat terobsesi pada kebersihan kuku. Dia akan segera memotong kuku jemarinya begitu mereka tampak mulai tumbuh. Dia juga akan memotong kuku jemari Dio dan sahabat-sahabatnya jika kebetulan mereka bertemu Rani dalam keadaan kuku mereka agak panjang. Singkatnya, tidak boleh ada satu orang pun di dekatnya yang memiliki kuku panjang.
“Bagian ini potong sendiri,” kata Rani sambil melepaskan jemari Radit. Tersisa dua jari jempol yang kukunya belum dipotong.
Radit mengambil bandul kalung itu lalu memotong kuku jempolnya. “Mulai sekarang, kau akan menjadi petugas pemotong kukuku. Jadi, aku akan bertemu denganmu setiap jumat pagi untuk memotong kukuku,” kata Radit sambil mengalungkan kembali kalung itu ke leher Rani.
“Kenapa begitu? Kenapa aku harus mau?” Rani mendelik protes.
“Ya karena aku akan mempromosikan produk di tokomu ke rekan-rekan kerjaku. Gimana? Mau?” tawar Radit.
Rani tampak berpikir. “Mmmm…oke deh! Tapi dilarang minta bayaran selain potong kuku”
“Okeh.” senyum Radit. Yess!! rencananya berhasil. Dia akan berusaha membuat phobia Rani pada kuku panjang berkurang. Perlahan tapi pasti. Kalau tidak dengan cara seperti ini, Rani takan pernah mau terapi. Dia merasa tak ada yang salah dengan dirinya hingga tak merasa perlu pengobatan, tapi Radit tahu jauh di dalam, Rani keropos. Dia mengubur dirinya dalam ketakutan dan trauma hingga phobia pada banyak hal. Rani tak pernah mau jadi pasiennya, juga tak mau jadi pasien dokter yang lain, ini lah yang akan Radit lakukan.
***
Radit sedang makan siang dengan dokter Kayana, seniornya di rumah sakit itu. Mereka sering makan bersama sambil membahas beberapa kasus pasien yang sedang mereka tangani. Berdiskusi sambil makan siang salah satu kegiatan favorit Radit, dia akan memperoleh ilmu dan pengalaman baru dari seniornya itu.
“Jadi, kau berencana melakukan itu agar dia mendapat terapi?” tanya dokter Kayana.
Radit mengangguk sambil mengunyah makan siangnya.“Apa kau menemukan gejala lain selain phobia ini?”
“Belum, dia selalu menolak bertemu denganku dan tak banyak bercerita tentang dirinya. Tapi satu hal yang pasti, dia tak berencana menikah”
“Kenapa menurutmu?”
“Dugaanku, dia mengalami trauma dengan sentuhan-sentuhan erotis dari pria”
“Belum tentu, kan? Bisa jadi dia hanya tak merasa tertarik pada pria? Mungkin dia tertariknya pada wanita?”
“Nah, itu dia. Aku harus meneliti lebih jauh tentang itu” kata Radit. Dokter Kayana mengangkat satu jempolnya. Beberapa saat mereka sibuk makan. Lalu tiba-tiba Radit teringat sesuatu.
“Waktu bertemu dengannya itu, kikir di gunting kukunya tampaknya dia asah menjadi setajam pisau” kata Radit, menatap dokter Kayana dengan penuh perenungan.
Dokter Kayana tampak curiga, “Setajam pisau? Kau memeriksanya?”
“Ya. Saat aku memotong kuku jempolku, aku periksa memang benar tajam, setajam pisau. Sepertinya dia mengasahnya dengan baik”
Dokter Kayana menatap Radit sambil tampak berpikir, “Terus awasi dia. Kontak terus dengannya. Ini sudah harus diwaspadai.”
“Aku kira, ini hanya dugaanku, dia membuat itu untuk melindungi diri, Dok. Kau tahu, dia selalu panik kalau berada di keramaian”
“Apa kau yakin? Bagaimana kalau sampai dia melukai dirinya sendiri dan orang lain dengan benda itu?” kata dokter Kayana.
“Berarti aku harus minta tolong Dio” kata Radit. Ia mengambil ponsel dari saku jas dokternya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAIL CUTTER
RandomKisah psikiater dan pasiennya yang seperti musuh bebuyutan. Seumur-umur Radit jadi psikiater, baru kali ini dia harus mengemis-ngemis pada pasiennya agar mau diobati. Pasien yang absurd dan sangat kurang ajar, satu-satunya pasien yang menyebut dirin...