Part 1

127 7 1
                                    

Manusia adalah mahluk yang ingin dicintai, tapi juga sering menyakiti. Egois, meminta banyak dan memberi sedikit.

Semua orang ingin dicintai tapi kebanyakan orang lupa untuk mencintai. Semua sibuk dengan kebutuhannya sendiri, tak peduli dengan kebutuhan orang lain. Itulah kita, manusia.

***

Karena mahluk sehina itulah Rani harus hidup dalam ketakutan selama dua puluh dua tahun ini,   berjuang sendiri mengobati rasa sakit ketika orang lain sibuk tertawa bahagia, membuatnya memiliki lubang yang sampai saat ini tak bisa ditutup, sekeras apapun ia berusaha.

Rani berjongkok di gudang bersama tumpukan bahan baku dari produk-produk di tokonya. Ponsel di sakunya berdering. Rani melihat layarnya, ibu. Ia memencet tombol tolak. Ponsel itu berdering lagi. Ia biarkan saja ponsel itu, sibuk menata stok barang di gudang.

“Kak!” panggil Dio dari pintu masuk.

“Apa? Kakak di gudang!”

Dio berjalan masuk ke bagian belakang bangunan. “Lagi ngapain?” tanyanya.

“Nyimpen stok barang,” kata Rani.
“Sama siapa ke sini?”

“Ibu sama ayah”

“Ngapain bawa mereka?”

“Ibu maksa pengen kesini”

“Tapi kan_”

“Aku gak salah. Ibu maksa. Aku gak mau jadi anak durhaka”

“Tapi lo jadi adik durhaka, cimol!"

“Semoga Allah memberi hukuman yang lebih ringan pada status adik durhaka daripada anak durhaka,” kata Dio sambil kabur cekikikan.

Rani melemparnya dengan pinsil. “Awas lo ya! Gue kurangin uang saku lo!”

“Ya Allah, begitu cepat kau menurunkan azabMu pada hamba,” kata Dio dengan wajah sedih sambil mengunyah keripik singkong.

Tak lama ayah dan ibu datang. “Dio, mana kakakmu?” tanya ibu.
Ayah langsung duduk di sofa dekat pintu.

“Tuh lagi di belakang, nata barang di gudang,” kata Dio, tetap asik dengan keripik singkongnya.

Ibu berjalan masuk, lalu melongok ke dalam ruangan yang pintunya terbuka. “Kamu belum punya karyawan juga?” kata ibu.

“Oh, Ibu.” Rani bangun dari duduknya lalu mencium tangan ibu.

“Tuh, ayahmu di sana,” kata ibu. Rani mengangguk lalu kembali pada tumpukan barang di bawah kakinya.
“Kamu kenapa sih? Sana cium tangan ayahmu”

Rani menarik nafas dalam. Ibunya selalu seperti ini. Mengatur-atur segala hal sampai hal terkecil. Mengatur bagaimana harusnya dia bersikap pada orang lain, terutama pada pria itu. Membuatnya kesal dan..
“Ibu mau apa ke sini?” tanya Rani sambil ngeloyor ke dapur

“Loh? Memangnya Ibu gak boleh nengok anaknya?” ibu mengekor.
“Kamu malu emangnya kalo ditengok sama ibu? Ibu gak akan minta uang ke kamu, kok! Ibu masih bisa makan gak kamu kasih uang juga”

Dio mendengar suara ibunya yang sedang berceramah. “Mulai lagi deh. Tiap ketemu pasti cekcok. Dasar cewek”

“Gak semua cewek kaya gitu” kata ayahnya.

“Ayah gak pusing kalo denger ocehan ibu di rumah?” kata Dio.

“Ibumu wanita yang baik. Dia mengoceh itu berarti dia merasa lelah atau tersinggung. Wanita kan memang begitu”

“Wah, Ayah pengertian banget sama ibu”

“Ya iyalah, kalau bukan ayah sebagai suaminya yang mengerti dan menerima apapun adanya ibumu, lalu mau siapa?”

NAIL CUTTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang