Part 11

14 1 0
                                    

Manusia mencari Tuhan saat mengalami kesulitan, kemudian melupakan-Nya saat sudah menemukan cahaya kebahagiaan. Namun jika bukan kepada Tuhan, lalu harus kemana manusia mencari pertolongan?

***

“Gue malu dateng ke acara-acara kaya gitu” kata Rani saat Dian mengajaknya ikut kajian.

“Kenapa mesti malu?”

“Karena lo lihat sendiri, gue kaya gini” Rani memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Dian menyorotnya dengan tatapan aneh.
“Apa ada yang aneh dengan itu?” tanya Dian. “Perasaan penampilan normal manusia emang kaya lo ini”

“Maksud gue, gue bukan hijaber kaya lo!”

“Astaga naga, ya gampang keleeess itu mah. Lo tinggal pake rok sama kerudung. Beres deh masalah”

“Gue gak pede pake kerudung”

“Udah ah! Ribet banget. Nanti soal penampilan gue yang tanganin. Yang penting lo mau ikut gue ke pengajian” kata Dian gemas sambil mendorong Rani ke kamarnya.
Di sana Dian mendandani Rani.

Celana jeansnya diganti rok lebar dengan lipatan sekelilingnya. Kemejanya diganti dengan tunik putih yang dipermanis cardigan sewarna rok. Jilbab segi empat yang ditata sedemikian rupa hingga tampilan Rani menjadi sangat manis, mirip dengan selebgram hijrah. Tambahan kaos kaki dan sepatu menambah cantik penampilannya. Dian jingkrak-jingkrak karena terlalu senang melihat penampilan sahabatnya itu.

Rani mematut dirinya di kaca, seperti menatap sosok asing yang tak pernah ia jumpai. “Ini bukan gue” katanya.

“Itu, lo. Dan lo gak nyadar kalo lo secantik itu. Dengan sedikit perubahan lo jadi sosok yang beda banget” Dian tersenyum dengan mata berbinar.
Rani masih melotot pada sosok asing di depannya. “Gue kok ngerasa munafik ya, pake jilbab?”

“Jilbab itu hadiah dari Allah buat hambanya yang sangat istimewa. Allah pengen menjaga wanita agar mereka tetap aman, makanya Allah mewajibkan wanita menutup aurotnya” kata Dian.
“Lo coba lihat sisi itu, bahwa Allah tuh bener-bener sayang sama lo, pengen lo aman terlindungi dan hanya untuk lelaki baik dan sholeh”

“Ya, bu ustadz…” kata Rani memajukan wajahnya ke arah Dian. Mereka terbahak. Setelah menyiapkan ini itu, mereka berangkat menuju pengajian.

Dian sadar, mengikuti kajian agama bukan berarti sebuah kepastian akan kesembuhan Rani. Mengikuti kajian ilmu tanpa memiliki kesadaran untuk memahami dan menerapkan ilmu itu dalam keseharian, sama saja artinya seperti kau membuka pintu tanpa melangkahkan kaki untuk masuk. Kau mungkin bisa membukakan pintu untuknya, tapi kau tidak bisa memaksa orang itu untuk masuk.

Kemampuan setiap orang dalam memaknai pengalaman relijiusnya berbeda-beda. Ada yang menjadikan itu sebagai pijakan untuk meraih tingkatan yang lebih tinggi, ada yang bahkan dia tidak menyadari bahwa ada sebuah pijakan untuknya melompat. Dian hanya berharap, dengan mengikuti kajian agama, Rani tidak terlalu merasa sendiri. Setidaknya itu akan lebih baik daripada Rani menghabiskan waktunya sendirian di kamar dengan menyakiti bagian tubuhnya.

***

“Apa? Kakakmu pergi ke pengajian?” kata ibu setelah sampai di rumah Rani, bertemu dengan Dio. Dio manggut-manggut sambil makan opor ayam yang ibunya bawakan.
“Yasudah kalau begitu, kalian saja yang pulang sesekali karena Ibu kangen. Belum menikah saja kalian sudah jarang pulang. Emang gak kangen sama Ibu?”

“Kangen sih, tapi Dio lagi belajar jadi cowok tangguh, jadi harus bisa tahan. Lagian Dio lagi banyak tugas, tahu sendiri sebentar lagi ujian”

“Eh, kakakmu itu, sudah punya calon, belum?” ibu memajukan tubuhnya ke arah Dio sambil berbisik.

NAIL CUTTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang