Part 4

57 6 0
                                    


Hati nurani selalu berbicara tentang kebenaran, ia selalu menyuarakan kebenaran

Entah kau mendengarkannya, atau memilih untuk mengabaikannya.

Ketika hatimu merasa bersalah, ketika itulah ia meminta berkomunikasi padamu, memberimu tanda bahwa kau butuh dimaafkan. Baik oleh orang lain, atau dirimu sendiri.

***

Ibu terbangun dengan napas tersengal. Untuk kesekian kalinya ibu bermimpi Rani kecil menghardiknya, menyalahkannya atas semua hal buruk yang Rani alami.

"Kenapa mimpi ini lagi?" gumamnya? "Sebetulnya apa kesalahan yang pernah ku lakukan?"

"Ada apa, bu?" ayah terbangun.

"Tidak apa-apa. Ibu cuma haus" ibu bangun dan berjalan menuju dapur. Selama di dapur ibu merenungkan mimpi itu. Sejak remaja sikap Rani padanya memang agak dingin, dia seperti menjaga jarak, tapi anak remaja pada umumnya memang begitu, kan? Mereka tak mau diatur dan cenderung egois, merasa benar sendiri dan merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan segala hal berkaitan dengan dirinya sendiri. Hanya memang sikap Rani terus seperti itu sampai sekarang. Terlebih sejak ia membuka usahanya sendiri dan memutuskan untuk hidup mandiri. Apa? Apa kesalahan yang sudah dia lakukan sebagai seorang ibu? Haruskah dia tanyakan langsung pada anak itu? Bagaimana caranya agar mereka berdua bisa bicara secara pribadi? Sedangkan ditemui saja Rani tampak jengah. Jadi seorang ibu yang baik memang bukan hal yang mudah, benar-benar tidak mudah.

***

"Hei, gimana kabar pasien luar biasamu itu?" tanya dokter Kayana saat bertemu dengan Radit di koridor rumah sakit.

"Belum ada kabar terbaru, wasapku masih belum dibalas dari tiga hari yang lalu" mereka berjalan bersisian.

"Wah, pasien yang sangat menyulitkan ya?"

"Kenapa aku yang harus mengunjunginya? Kenapa aku yang harus berusaha keras membantunya untuk sembuh?" tanya Radit, lebih pada dirinya sendiri.

"Tanya sendiri pada hati nuranimu" jawab dokter Kayana dengan senyum jenaka.

"Karena aku akan menyesal di dalam kuburku nanti kalau mati dalam keadaan tak berusaha menolongnya"

"Nah, tuh! Langsung dapat jawaban" kata Kayana dengan senyum.

"Gimana pasien terbaru mbak?" tanya Radit.

"Yang mana?"

"Yang terobsesi pada adiknya sendiri?"

"Oh itu, ia. Aku merasa agak kerepotan dengan yang satu itu kau tahu?"

"Dia benar-benar sakit jiwa" kata Radit "Masa adiknya sendiri di... apa itu?"

"Yah, itu lah. Akhirnya adiknya juga harus mendapatkan perawatan karena trauma"

"Zamankah atau moral manusa yang makin rusak? Pasien kita semakin banyak saja dari ke hari. Belum lagi yang depresi karena persoalan ekonomi"

"Entahlah, yang penting kita jangan ikut-ikutan depresi. Bukannya membantu orang sembuh, malah jadi pasien. Na'udzu billah"

"Orang-orang seperti kita butuh gizi untuk jiwa lebih banyak dari orang lain" kata Radit.

"Betul, makanya sering-sering ikut kajian, deket sama orang-orang sholeh. Sekarang kan lagi musim anak muda hijrah tuh!" kata dokter Kayana. Mereka berdua tersenyum.

Sejauh pengalaman mereka, salah satu hal yang banyak membantu kesembuhan pasien adalah dukungan dari orang-orang sekitar dan lingkungan, selain obat medis, tentu saja. Satu hal lagi yang menurut mereka berdua adalah salah satu terapi yang cukup membantu adalah terapi spiritual, mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan bersandar pada Tuhan, menyerahkan kelemahan diri kepada-Nya, secara psikologis membantu seseorang merasa lebih kuat dalam menghadapi goncangan-goncangan dalam hidup. Meski dalam beberapa kasus, tingkat relijius seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan kesehatan pikirannya. Ada seorang ibu yang kesehariannya cukup relijius tapi karena mengidap depresi akut, ia membunuh keempat puteranya sekaligus. Itu kasus yang pernah terjadi di kota Bumi Siliwangi ini.

NAIL CUTTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang