Ketika kegelapan menyelimutimu, memelukmu dengan erat, kepada siapa kau harus berteriak minta tolong saat semua sibuk dengan dunia mereka sendiri?
***
Aku terbangun dengan isakan dan mata basah. Kenangan buruk itu kembali, menyesakkan dadaku dengan rasa sakit. Aku memuntahkan apapun itu yang kumakan tadi malam, lalu meredam tangis sekuat yang kubisa dengan bantal.
Tak ada yang menolongku, tak ada seorangpun yang bisa melepaskan aku dari rasa sakit belenggu ini, tak ada. Aku tenggelam sendirian dalam kegelapan dan kedinginan. Tak ada yang mengingatku, tak ada yang peduli. Aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini. Tolong aku, siapapun. Tolong aku, selamatkan aku, tolong aku.
***
“Assalaamu’alaikum” Radit masuk, seorang gadis muda menyambutnya.
“Kau siapa?” tanya Kesha.
Rani muncul dari belakang, “Kesha, bisa minta tolong rapikan barang-barang yang aku buat kemarin?” Kesha mengangguk, lalu pergi ke belakang dengan cemberut.
Radit duduk. “Apa dia karyawanmu?” tanyanya. Rani mengangguk.
“Apa dia tidak terlalu muda?”
“Aku tak ada pilihan lain kecuali membiarkannya bekerja di sini, dia kabur dari rumah gara-gara Kakak angkatnya berusaha meruda paksanya, beberapa kali”
“APA?!”
“Ya. Satu lagi bajingan yang layak dikuliti hidup-hidup” kata Rani sambil memegang tangan Radit, ia mulai memotong kuku. Rani tak menyadari sudah beberapa minggu ini dia terbiasa memotong kuku ibu jari yang sengaja dibiarkan kotor oleh Radit. Radit tersenyum menemukan kenyataan itu. Metodenya berhasil.
“Apa Dio tinggal di sini?” tanya Radit.
“Tidak. Dia memaksa tinggal di tempatku sudah seminggu ini. Entah kesurupan apa anak itu. Apa jangan-jangan dia jatuh cinta pada Kesha?”
“Aku lihat ada beberapa barangnya di sini”
“Ya, dia juga sepulangnya les selalu kesini dulu. Melanjutkan belajar atau apalah. Yang jelas dia selalu bertanya “Dimana Kesha?” “Kesha lagi ngapain?”
“Kau cemburu dengan kedekatan mereka?”
“Aku? Kenapa?”
“Cuma nanya. Siapa tahu kau mengidap brother complex?”
Rani diam. Ia mulai mengikir.
Dokter Yang meraih dagu Rani dan mendongakkan wajahnya. “Kau kurang tidur”Rani menepis tangan Radit. “Aku baik-baik saja”
“Sudah berapa lama kau sulit tidur?”
Rani bungkam. Ia selesai mengikir lalu membersihkan koran alas penampung potongan kuku.
“Kau mau datang ke klinikku?” tanya Radit, mengikuti Rani ke dapur.“Mau apa? Disuruh terapi lagi?” Rani mengambil mug.
“Tidak. Aku mau memberimu hadiah” Radit duduk di ujung meja.
“Bawa saja sini hadiahnya” Rani menuangkan air panas dan menyendok coklat bubuk
“Gak bisa. Hadiahnya harus aku berikan di sana”
“Kenapa begitu?”
“Ya, karena aku maunya seperti itu. Apa semua hal harus ada alasannya?”
“Ya, di dunia ini Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti ada alasannya”
“Berarti pertemuan kita juga pasti ada alasannya”
“Apa?” tantang Rani. Ia menyerahkan mug berisi coklat panas itu pada Radit. Kesha menyimak obrolan mereka dari ruangan sebelah.
“Tuhan mau kau sembuh. Dia mau kau bahagia” kata-kata Radit meresap ke hati Rani seperti tetesan air hujan jatuh di retakan tanah tandus.
Ya, Tuhan selalu memiliki alasan dalam menciptakan sesuatu. Begitupun dalam penciptaan manusia. Hanya saja, tidak semua orang memahami alasan Tuhan menciptakan dirinya. Kebanyakan orang tersesat dalam kekusutan hidup yang mereka jalani, tak sempat berkontemplasi akan alasan kehadiran dirinya di dunia ini, terlalu sibuk memikirkan cara bagaimana bertahan dalam dunia yang keras ini.
***
“Lo mau ngapain sih nyari-nyari kos-kosan? Bukannya lo udah tinggal sama Nyokap Bokap lo? Kan enak, gratis. Makan tinggal makan”
“Dasar Bona!” sungut Dio. “Asal yang gratis aja, lo maen embat”
“Ya lagian di jaman ekonomi susah kaya gini, semua orang juga suka kali, sama yang gratisan”
“Iya sih. Bener juga, tapi ini keadaan darurat, gue harus dapetin kos-kosan buat si Kesha”
“Lo punya pacar? Mau ngapain lo di kos-kosan sama cewek?” mata Bona membulat.
“Lo pasti mikir yang ngeres-ngeres deh!” Dio menoyor Bona.
“Aduh!”
Mereka berdua masuk ke sebuah kamar kos kosong. “Ini doang yang masih kosong” kata Bona. “Buat lo, nyokap gue bilang diskon 60 %”
“Beneran?”
Bona mengangguk, “Nih, kuncinya” Bona menyerahkan kunci.
Selesai membayar, Dio segera pergi menuju toko kakaknya.***
“Assalamualaikum” Dio masuk, menoleh ke Radit yang sedang menyeruput coklat panas.
“Siang, Kakak ipar” Dio meraih tangan Radit dan menciumnya. Radit menautkan alis.
“Lo kesurupan apa, Cimol?” Rani mengikuti Dio yang terus berjalan ke ruang produksi.
“Sha, gue mau nunjukkin sesuatu sama lo” Dio berdiri di ambang pintu.
Rani masih menatap Dio dengan tatapan heran, memeriksa suhu kening Dio dengan tangannya. “Lo sakit?” tanyanya.
“Nunjukkin apa?” tanya Kesha, berdiri setelah selesai merapikan barang.
“Udah sini ikut gue” Dio meraih lengan gadis itu lalu pergi keluar.
“Kalian mau kemana?” Rani memanggil dari ambang pintu toko.
“Pinjem dulu bentar!” Dio teriak sambil terus berjalan menyeret Kesha.
“Pinjem, emang dia barang? Lagian sejak kapan sih, dia jadi deket sama Kesha?”
“Oke, fix, cemburu” celetuk Radit.
“Gak! Ngapain?”“Kalo gitu kamu bisa dateng ke klinikku. Minggu besok”
“Apa hubungannya sama Dio?”
“Gak ada. Makanya aku bilang kamu bisa datang ke klinik aku. Jam 10.”
“Aku gak janji bakal datang. Main paksa aja”
“Aku bakalan maksa kamu lebih dari ini kalo kamu gak dateng hari minggu besok”
Rani cemberut.Radit memang berniat memberi Rani hadiah atas keberhasilannya melewati terapi phobia kuku jempol, tapi selain itu dan yang lebih penting, ini sudah waktunya menggali lebih jauh asal muasal trauma dan phobia Rani. Itu yang harus ditangani, tampaknya Rani bukan hanya memiliki phobia, tapi dia juga memiliki kecenderungan depresi. Dia mulai tampak kesulitan tidur dan juga perban-perban di lengannya yang menurut perkiraan Radit, itu adalah luka yang disengaja.

KAMU SEDANG MEMBACA
NAIL CUTTER
RandomKisah psikiater dan pasiennya yang seperti musuh bebuyutan. Seumur-umur Radit jadi psikiater, baru kali ini dia harus mengemis-ngemis pada pasiennya agar mau diobati. Pasien yang absurd dan sangat kurang ajar, satu-satunya pasien yang menyebut dirin...