Bukan hanya dengan tujuan yang benar, kau juga harus menggunakan cara yang benar dalam menyelesaikan suatu masalah.
***
Aku gila. Aku tahu aku sudah gila. Ini semua sudah salah sejak awal. Sejak awal aku sudah sering melibatkan emosi. Sekarang semua menjadi rumit, dan aku harus meluruskan kekusutan ini. Sejak awal sisi lain diriku mencegah untuk ikut campur lebih dalam. Namun sisi yang lain memaksa untuk peduli karena aku tak bisa menutup mata. Seharusnya sejak awal aku membawanya ke Kayana, itulah yang harus aku lakukan. Radit membentur-benturkan dahinya ke atas meja. “Bodoh, stupid, tolol, tidak berotak” makinya pada diri sendiri. Setelah memaki diri sendiri selama setengah jam, dia mengambil ponsel dari saku lalu mengetik pesan.
“Aku akan menangani salah satu phobianya dulu. Selesai itu, aku akan menyerahkannya padamu. Aku terlanjur berjanji padanya akan membantu menangani phobianya” pesan terkirim menuju Kayana. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi.
“Oke. Jangan terlalu jauh melibatkan emosi. Kau tahu apa konsekuensinya” bunyi pesan dari Kayana. Radit menghela nafas dalam, lalu menghenyakkan punggungnya ke kursi.
***
Rani memilah barang yang akan dia bawa sebagai sample untuk ditunjukkan pada wakil perusahaan yang akan bekerjasama nanti.
“Kalian kan belum pernah bertemu, menurutku bahas kesepakatan dulu, baru bawa sample barang” kata Dio sambil membaca buku dan makan keripik singkong.“Kalau pihak sana sudah melihat sample produk, sepakat atau tidak, keputusan akan lebih cepat dibuat” kata Rani sambil menimang sebuah tas tangan.
“Iya sih,” Dio mengangguk, “Memang kesepakatan kaya gimana yang mereka tawarkan?”
“Mereka perusahaan yang bergerak di bidang UKM. Lebih tepatnya memasarkan produk-produk UKM secara luas. Bahkan mereka mengekspor beberapa produk UKM ke beberapa negara” kata Rani.
“Kalau tahap itu kayaknya Kakak belum bisa nanganin, deh. Kakak butuh karyawan yang sangat banyak” kata Dio.
“Kakak gak ngejar target ekspor, itu terlalu jumawa, kayaknya. Cukup dipasarkan di pasar nasional, Kakak udah seneng”
“Lah? Kalo gitu mah, di toko online kakak selama ini juga udah terpasar di pasar nasional, dong?”
“Beda kalau perusahaan ini yang memasarkan. Perusahaan mereka sudah memiliki nama di perdagangan nasional, jadi_”
“Jadi produk-produk dari Rani’s bakalan lebih dipercaya konsumen?”
“Betul!”
Dio manggut-manggut lagi. Lalu pergi ke dapur untuk minum. Setelah kembali dia bicara lagi, “Siapa yang nanti menemui mereka?”
“Lo” Rani menunjuk Dio.
Alis Dio bertumbuk. “Kok Dio?”
“Sama gue” kata Rani.
“Emang kapan?”
“Lo bisanya kapan? Waktu bakalan gue sesuaikan sama kapan lo bisanya” kata Rani.
“Gak salah? Bukannya biasanya perusahaan yang sudah punya nama yang menentukan waktu meeting?” kata Dio. Rani mengangkat bahu.
***
Hari meeting ditentukan hari kamis, hari dimana Dio memiliki waktu luang karena Rani tidak bisa meminta bantuan Dian, dia harus menghadiri acara nikahan salah satu karyawannya. Rani dan Dio sampai di sebuah mall, tempat dimana mereka akan bertemu dengan pihak perusahaan dari the Harby’s Company. Sampai di sebuah ruangan yang ditunjukkan oleh salah satu pegawai mall, Rani dan Dio mempersiapkan diri.
Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan masuk dengan setelan jas. Dio menggenggam jemari Rani, berusaha mentransfer keberanian untuk kakaknya. Mereka bertiga bersalaman.
“Perkenalkan, nama saya Ben. Saya perwakilan dari the Harby’s”Selama dua jam kemudian, meeting sudah membentuk kesepakatan. Setelah Rani menjelaskan barang-barang yang dia produksi dan menunjukkan beberapa model produknya, Ben memastikan produk dari Rani’s memenuhi standar perusahaannya. Setelah semua sudah jelas, kesepakatan dibentuk. The Harby’s akan memasarkan produk Rani’s dengan sistim bagi hasil dari keuntungan.
“Mengenai pasar ekspor_”
“Kami mohon maaf,” potong Rani “Untuk sementara ini kami belum bisa memenuhi pasar ekspor karena kami masih memiliki keterbatasan dalam memproduksi. Alasan terbesarnya karena kami ingin menjaga kualitas produk” terangnya.
Ben mengangguk, “Tidak apa-apa. Tidak semua produk yang kami pasarkan harus memenuhi kuota ekspor. Di jaman online seperti sekarang, konsumen dari luar negeri bisa langsung membeli dari situs kami dan dikirim langsung dari dalam negeri” katanya.“Oh, begitu. Baik. Terimakasih” kata Rani.
Setengah jam kemudian, setelah acara makan siang selesai, pertemuan diakhiri. Kontrak akan dibuat dan ditandatangani pada pertemuan berikutnya.***
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Radit. Menatap Ben seperti hantu.“Kenapa? Apa ada yang salah kalau aku mengunjungi rumah sepupuku sendiri?”
“Tidak sih. Cuma aku merasa tidak nyaman kalau kau ada di dekatku”
“Wah, hatiku sangat terluka saat mendengarnya”
“Bagus, kalau begitu segera pergi dari sini”
“Terimakasih atas sambutan selamat datang yang sangat ramah itu. Aku mau sarapan, tadi malam aku menginap di rumah salah satu temanku di sekitar sini dan belum sempat makan malam” Ben berjalan menuju dapur. Menemukan dua asisten Radit yang sedang menyiapkan sarapan.
“Kau sering menginap di sekitar sini?” tanya Radit. Mereka berdua makan berhadapan.
“Tidak juga. Hanya sesekali kalau kebetulan ada kerjaan yang harus kami bahas”
“Kau membahas pekerjaan di rumah bersama rekan kerjamu? Gila kerja sekali”
“Yah, sebetulnya itu bukan hal yang baik kalau kau sudah berumah tangga, tapi lebih baik lembur di rumah daripada di kantor. Kau bisa sambil selonjoran dan berbincang santai. Bahkan bisa sambil nonton Moto GP”
“Bukan tipeku” kata Radit.
“Apa? Lembur di rumah atau nonton Moto GP?”
“Kerja di rumah” kata Radit sambil mengunyah kerupuk.
Sebetulnya secara praktek Radit sering sekali menangani pasien di luar jam kerja, cuma dia menganggap hal itu bukan pekerjaan resmi, tapi layanan sosial. Semacam panggilan jiwa yang tidak bisa dia abaikan.“Omong-omong, apa kau masih menjalankan program apa itu, sosial yang foodbox itu?” tanya Ben.
“Masih. Kenapa? Kau mau jadi donatur?”
“Aku mau. Jadi relawannya juga mau. Di sekitar kantorku ada beberapa orang yang layak dapat”
“Boleh. Kau bisa datang kesini pagi-pagi sekali dan membantu kami membungkus. Semakin cepat selesai, semakin cepat disalurkan”
“Oke. Mulai pekan depan aku datang”
Ben tersenyum penuh makna.“Kenapa kau tiba-tiba ingin ikut bergabung?” tanya Radit.
“Kenapa kau bertanya?”
“Yah, karena dulu saat aku menawarimu, kau seperti tidak berminat”
“Itu kan dulu, beberapa bulan ini aku ada penghasilan tambahan. Lagipula siapa tahu dengan sedekah ini kesehatan ibu membaik”
“Aamiin.” kata Radit. Dia sebenarnya agak curiga dengan perubahan Ben. Dia jadi lebih agak manusiawi. Sebelumnya dia tampak seperti dewa yang selalu sibuk dan sulit dijangkau.
“Kenapa? Kau curiga padaku?” tanya Ben.“Memang. Sepanjang riwayatmu, kau selalu melakukan sesuatu jika memang kau mendapatkan keuntungan dari hal itu. Aku agak-agak waspada saja”
“Wah, terimakasih banyak atas pujiannya, kau sangat mengenalku dengan baik. Kau hanya lupa satu hal, bahwa aku bukan iblis HAHAHAHAHA”
Radit menatapnya malas.
![](https://img.wattpad.com/cover/136469801-288-k80067.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
NAIL CUTTER
AléatoireKisah psikiater dan pasiennya yang seperti musuh bebuyutan. Seumur-umur Radit jadi psikiater, baru kali ini dia harus mengemis-ngemis pada pasiennya agar mau diobati. Pasien yang absurd dan sangat kurang ajar, satu-satunya pasien yang menyebut dirin...